Quantcast
Channel: zachflazz
Viewing all articles
Browse latest Browse all 400

KETIKA SAYA TERPANCING EMOSI

$
0
0



Assalamu’alaikum wr.wb.



Beberapa kali saya mendengar anak saya Agree mengeluh. Katanya beberapa kali dia dimarahi seorang bapak saat bertandang ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Saya yang biasa cuek tidak pernah ambil pusing, dan dengan ringan menyarankan anak saya itu untuk cuek saja. Agree mengikuti saran saya.  

Hingga ada kejadian yang akan saya ceritakan di bawah ini.

Tadi malam (Sabtu, 27 Desember 2012), saya sampai di rumah sebelum waktu ‘Isya tiba. Saya pun bisa ke masjid Jamiyyatul Falah - mesjid terdekat dengan rumah saya - untuk shalat 'Isya berjamaah. Saya berangkat sendirian, karena seperti biasa, anak saya Agree sudah berlari ke masjid sebelum adzan berkumandang. Dia selalu bilang mau shalat di barisan (shaf) pertama biar dapat pahala onta, bukan pahala kerbau. Itu doktrin guru ngajinya yang melekat di benak anak itu.

Sesaat sebelum shalat dimulai, saya yang baru tiba di masjid menyaksikan ada sedikit kegaduhan di shaf depan. Saya terkejut menyaksikan anak saya Agree yang di shaf terdepan sedang didorong bahunya agak kasar oleh seorang bapak. Saya segera mendekat. Mudah saja menyeruak ke depan, karena shaf pertama, tempat Agree berada, masih longgar.
Maaf, kenapa anak saya ya Pak?, saya bertanya dengan sopan.
Ini anak kecil harusnya di belakang, jangan di depan. Bikin berisik aja!, demikian bapak yang kira-kira berusia 60 tahun itu menjawab.
“Biar dia di sini saja ya Pak, sama saya.”
“Tidak bisa, hai Kamu, ke belakang sana!”, begitu tiba-tiba bapak tadi menghardik anak saya.
Agree tampak beringsut dan tidak berani melihat ke arah bapak itu. Tapi tangannya sudah saya raih.
“Maaf ya Pak, saya bapaknya. Anak saya ini nggak akan berisik koq.
“Ini menjalankan sunnah Nabi. Anak kecil harus di belakang!”
Karena imam sudah memulai takbiratul ihram, saya buru-buru menarik tangan anak saya, ke sisi kiri saya. Sementara bapak itu ada di sebelah kanan saya. Wajahnya bersungut-sungut. Tetap di shaf pertama.

Selama shalat, pikiran saya tertuju kepada bapak di sebelah saya itu. Saya ingin buru-buru bicara dengannya.

Singkat cerita, begitu selesai shalat, saya menjabat tangan bapak itu. Agak sungkan dia membalas jabat tangan saya.
Saya berbicara kepada beliau dengan agak berbisik.
“Maaf Pak, anak saya itu shalatnya sudah lima waktu, dan selalu dilakukannya di masjid”, saya menyampaikan informasi  dengan lembut.
“Anak kecil itu harus di belakang. Di depan bisa ngeganggu.”
“Tapi anak saya nggak ngeganggu Pak. Shalatnya sudah tertib koq.“
“Nggak, ini sunnah nabi. Anak kecil harus di barisan belakang!”
“Maaf ya Pak, saya ini memang awam.  Tapi apakah benar ada hadits yang melarang anak kecil shalat di shaf terdepan?”
“Ada ayatnya. Pokoknya anak kecil itu bisa mengganggu, makanya harus di belakang.”
“Bapak sudah mengenal anak saya?”
Bapak itu diam saja. Saya melanjutkan,
“Dia shalat sudah bisa lima waktu Pak. Selalu shalat di masjid ini, dan dia selalu memilih shaf di depan. Dia tadi berangkat buru-buru dari rumah karena ingin shalat di shaf pertama. Anak saya ngerti apa fadhilah shalat berjamaah terdepan. Dia berangkat dengan harapan dapat pahala onta katanya.”

“Saya nggak ada urusan!” Orang ini ternyata susah menerima argumentasi saya. Saya pun cuek saja melanjutkan,
“Bapak-bapak di sini sudah mengenal sekali anak saya, dan mereka selalu mempersilakan bahkan mengajak anak saya untuk shalat di shaf pertama. Mereka kenal anak saya ini, nggak pernah bikin ribut.”

Saya melihat Agree di samping saya menunduk seperti ada rasa takut, tapi mungkin mentalnya naik karena saya membelanya.

Saya melanjutkan, “Saya jamin Pak, anak saya ini nggak mungkin bikin ribut di masjid.”
“Anak kecil itu belum punya kewajiban shalat!”, katanya sambil menunjuk anak saya.
Orang-orang di sekitar kami mulai memperhatikan kami yang mulai mengeras nada bicaranya.
“Lalu maksud Bapak, anak saya tidak perlu shalat di masjid?  Bahkan tidak perlu shalat karena belum berkewajiban?”
“Bikin ribut aja kalo di masjid!”
“Saya sampaikan sekali lagi Pak. Saya menjamin, anak saya ini anak yang sudah mengerti beribadah dengan baik.”

Orang-orang yang seharusnya sedang berdoa, mulai nguping dialog kami yang semakin meninggi.

“Maaf Pak, saya harus katakan, Bapak ini jarang shalat di masjid. Maaf lagi kalo saya katakan bahwa bapak ini masih harus banyak belajar, seperti halnya saya.”
“Alaaahh, udah, pokoknya nggak bisa!”
“Tolong Bapak jangan bikin semangat beribadah anak saya jadi jatuh hanya karena Bapak”, saya menjadi agak emosi.
“Ehh situ nggak ngerti sih orangnya. Nggak ngerti dalil.
“Yang nggak ngerti itu Bapak, yang bikin ribut itu ya Bapak!”
“Ehh!”
“Begini Pak, saya ini kalah jauh taatnya dibandingkan anak saya, apalagi Bapak yang jarang ke mesjid. Sekarang saya ikut senang Bapak sudah ke masjid. Tapi tolong hadirnya Bapak jangan ikut menghadirkan masalah di sini. Mari kita ber-fastabiqul khairat, berlomba untuk kebaikan, bukan menyalahkan dan bikin gara-gara. Beri kesempatan anak saya untuk itu.”

Saya menjabat tangan bapak itu kembali. 

“Mari Pak, kita bertiga; Bapak, saya, dan anak saya, berlomba untuk shalat di sini di shaf terdepan mulai besok! Bukan untuk bikin ribut seperti yang Bapak lakukan sekarang.”

Saya lalu pamit, lupa berdoa setelah shalat. Tapi saya tersenyum puas, bisa memenangkan anak saya.

Hanya kemudian, saya menyisakan tanya pada diri saya sendiri. Apakah saya mampu untuk berlomba dalam kebaikan itu. Wallahu a'lam.


Wassalamu’alaikum wr.wb.





Viewing all articles
Browse latest Browse all 400

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>