Quantcast
Channel: zachflazz
Viewing all 400 articles
Browse latest View live

MENCETAK ATLET (1)

$
0
0
Assalamuálaikum wr.wb. 




Saya penyuka olahraga. Saya pun berambisi sebagai atlet (nggak tahu diri banget ya? biarin). Saya beberapa kali tampil sebagai peserta dalam kejuaraan olahraga. Yang patut saya catat, saya pernah masuk final cabang bulutangkis - Porseni saat duduk di sekolah dasar. Selama tiga tahun di SMA, setiap tahun saya mengikuti kejuaraan atletik mewakili SMA saya. Saat kelas 1 dan kelas 2, saya turun di nomor sprint 100 meter dan lompat jauh. Saat kelas 3, saya turun di cabang lompat jauh dan lompat tinggi. Tapi semua gagal total. Saya hanya bisa masuk final untuk nomor 100 meter dan lompat jauh. Di nomor lompat tinggi saya gugur di babak penyisihan.

Lalu di penghujung tahun 1993, saya pernah mengikuti kejuaraan yang saya klaim sebagai pencapaian terbesar bidang olahraga dalam hidup saya. Saya ikut serta dalam sebuah kejuaraan Pra PON di sebuah cabang olahraga beladiri. Tapi keikutsertaan saya ini malah berbuah kecelakaan saat saya kalah ippon dalam pertandingan pertama. Ini menamatkan riwayat saya di cabang olahraga ini (saya ingin cerita banyak soal pengalaman ini, tapi malas kalo sekarang ahh). Remuk.

Ambisi untuk menjadi atlet pada akhirnya tidak pernah kesampaian. Berakhir dalam serentetan cerita mimpi yang panjang. 

Tapi api ambisi itu tidak pernah padam. Sisa-sisa nyala apinya saya bawa saat saya mengawal anak-anak saya. 

Saya lalu mengkondisikan anak saya Arien untuk aktif di bulutangkis. Saya memasukkan Arien kecil di sebuah klub bulutangkis di Bogor. Tapi saya menyaksikan Arien tidak begitu enjoy di dalamnya. Dia main tidak pernah lepas dan kelihatan ada unsur tidak ikhlas. Sepertinya memang bukan bidangnya untuk menuai prestasi di bidang ini. Majal dan tidak berkembang. Meski begitu, alhamdulillaah, dia menjadi bisa bermain bulutangkis.



Dalam perjalanan waktu, saya mencoba mencetak Arien menjadi seorang sprinter. Lumayan. Dia menjadi andalan sekolahnya untuk lomba atletik. Dia bisa masuk babak semi final di Pekan Kreatvitas Siswa dan Olahraga (dulu Porseni) antar SD. Tapi lagi-lagi, dia harus bertemu lawan yang sangat tangguh di sana. Pemenangnya ada di sudut kanan di gambar di bawah ini. Seorang yang secara alami memang sudah unggul. Arien yang tampak di paling kiri pun hanya rela di peringkat yang jauh.





Dalam beberapa ajang lomba atletik yang lain, Arien selalu kalah. Tapi tentu ini bukan persoalan, karena sebenarnya target utamanya adalah agar dia berolahraga, dan berbadan sehat. 

Saat ini nama Arien terdaftar di klub atletik PASI Bogor. Tapi karena kegiatannya padat, dia vakum latihan. Ambisi prestasi bapaknya itu berefek baik, yaitu, alhamdulillaah, dia sehat. Dan sehat menjadi kunci segalanya untuknya.


Wassalamuálaikum wr.wb.
Salam sehat, teman-teman. Semoga kita semua dikarunia kesehatan yang prima setiap saat.



MENCETAK ATLET (2)

$
0
0

Assalamu 'alaikum wr.wb.




Cabang olahraga itu sangat banyak. Olympic Games (Olympiade) bisa mempertandingkan rata-rata 30-an cabang olahraga. KONI sebagai wadah besar olahraga di Indonesia bahkan memayungi tidak kurang dari 50 induk cabang olahraga. Olahraga yang dipertandingkan di Olympiade dan dipayungi KONI ini biasa dikenal dengan sebutan olahraga prestasi.

Dari sekian banyak cabang olahraga prestasi, kita tidak menampik adanya beberapa cabang primadona. Ialah olahraga yang peminat dan atletnya banyak, populer, atletnya berpotensi besar untuk terkenal, dan pertandingannya biasa ditonton orang banyak. 

Saya ingin mengajak teman-teman berandai-andai. Untuk olahraga prestasi ini, jika teman-teman diminta mempersiapkan seorang atlet, dari cabang olahraga apa yang dipilih untuk dibina? 

Saya punya pemahaman sendiri untuk soal ini.

Begini,
Di tengah peminat yang teramat banyak pada cabang primadona tadi, pasti pesaingnya, atau atlet yang berminat pun banyak. Dari pesaing yang banyak itu, maka di atas kertas, susah jika harus bicara prestasi. Tentu sangat berat untuk berkompetisi dengan pesaing dalam jumlah yang berlimpah. Lihat saja cabang sepakbola. Hampir setiap orang menyukai sepakbola. Dan hampir setiap orang akan bangga jika anaknya, pacarnya, kakaknya, atau teman baiknya seorang atlet sepakbola. Demikian halnya bulutangkis, basket, renang, dan cabang-cabang populer lainnya. Susah untuk berkiprah dalam prestasi di cabang-cabang ini.

Dan menurut saya, jika ingin berkiprah dengan orientasi untuk mendulang prestasi lewat sesuatu cabang olahraga, namun dengan kemampuan yang biasa-biasa saja, maka diperlukan strategi dan siasat yang baik.

Saya terinspirasi oleh seorang Sergey Bubka, jawara atletik asal Ukraina untuk cabang lompat galah yang tak terkalahkan. Dia olahragawan idola saya. Bubka tercatat 35 kali memecahkan rekor dunia sepanjang kariernya, dan kebanyakan memecahkan rekor dunia atas namanya sendiri! Dia sangat gagah dan perkasa di lapangan, seolah-olah bertanding sendirian. Semua mata peserta dan official hanya pasrah menatapnya. Dia lagi, dia lagi pemenangnya, di semua event dunia untuk cabang lompat galah.


Сергей Назарович Бубкa - http://atblog.ru
Kenapa fenomena Sergey Bubka terjadi? Saya melihat, karena peminat olahraga atletik untuk cabang lompat galah ini sedikit. Untuk lingkup induk cabang atletik saja, cabang lompat galah, jika dibandingkan dengan nomor lari atau lompat jauh, masih kalah populer. Apalagi jika melebar ke tenis, tenis meja, bulu tangkis, basket, bahkan sepakbola, lompat galah bukan apa-apa. Bubka menekuni cabang yang tidak populer.

Dari sinilah saya mencari celah.
Meski ini urusan yang utopis belaka, saya masih ingin mencetak anak-anak saya sebagai atlet. Omong kosong? Hehe, memang. Biar saja. Memang ini hanya iseng-iseng berhadiah koq.


Saya berangkat dari cabang olahraga yang saya nilai jarang peminatnya. Ini dia. Saya mengenalkan anak saya Agree untuk cabang yang satu ini. Tolak Peluru. Sambil berolahraga, saya membentuknya sesuai keinginan saya. Bagaimana teknik tumpuan yang baik, sikap badan yang menjadi awalan dalam tolakan yang baik, dan melempar dengan jauh. 

Saya mengkondisikan Agree pada peluru seberat 2 kilogram. Menurut informasi, dalam lomba antar SD biasa dipertandingkan tolak peluru dengan berat peluru 3 kilogram. Pelan-pelan, kelak akan saya kondisikan Agree untuk peluru seberat 3 kilogram itu.



Indahnya mengelola anak-anak yang patuh.


Nah jika sudah begini, saatnya menginformasikan kepada guru olahraganya. Menyatakan bahwa jika ada persiapan untuk lomba atletik, silakan anak saya ini diadu dengan calon wakil sekolah yang lain. 

Selanjutnya silakan bergulir. Andai Agree terpilih tentu baik, itu yang saya harapkan. Andai tidak pun tidak apa-apa. Namanya juga berupaya koq. Yang penting sehat. Prestasi menjadi ekses kejutan jika memungkinkan. 


Wassalamuálaikum wr.wb.


peluru itu tersimpan baik meja belajar Agree




BANG JARWO

$
0
0
Assalamuálaikum wr.wb.


Saat saya duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar (SD), pada suatu ketika kami siswa di kelas mendapat tugas pada mata pelajaran kesenian. Tugasnya ialah: menggambar bebas. Saya pun bersemangat sekali menggambar tokoh favorit saya, yang saat itu populer sebagai cover buku tulis. Dialah ET, kependekan dari Extra Terestrial, tokoh alien yang tersesat di bumi dan bersahabat dengan anak-anak di planet biru ini.

Saya optimis dengan hasil karya saya itu. Menurut saya, gambar saya mirip sekali dengan tokoh ET.  Teman-teman di kelas pun memuji lukisan saya. 

Dan tibalah saatnya lukisan itu dikumpulkan. Bu Rina, guru saya, seketika menilai semua lukisan yang ditumpuk di mejanya yang ada di depan kelas. Saya berharap-harap cemas. Saya yakin gambar ET saya menjadi gambar yang paling bagus.
Tapi apa yang saya dapatkan? Nilai melukis saya: 5 1/2 (lima setengah). Saya yang biasanya mendapat nilai paling bagus untuk pelajaran melukis, tentu sangat kecewa. Kata Bu Rina, “Gambar manusia koq kayak gini, tumben si Zach gambarnya jelek. Lagi ngambek nih pasti!” Glek. Gemas, kecewa, dan ingin menangis rasanya mendapatkan perlakuan demikian. Sungguh bu guru satu ini saya sesalkan wawasannya. Parah. Pasti tidak pernah melihat tokoh bernama ET. Geram tak berujung.

Yah, dapat dimaklumi, wujud ET memang lebih ke makhluk ganjil dibanding makhluk yang indah. Jadilah saya disangka ngawur dalam menggambar. Saya sempat memberi penjelasan kepada Bu Rina, tapi fatalnya, saya tidak berhasil menunjukkan cover buku tulis yang bergambar ET saat itu. Nasib. 

Perbedaan persepsi untuk sebuah objek lukisan menjadi malapetaka buat saya.

Kasus itu menjadi pelajaran yang sangat berharga. 

Beberapa hari lalu, anak saya Agree mendapat tugas pekerjaan rumah menggambar tokoh kartun. Demi melihatnya menggambar, saya sekilas bertanya, bagaimana wawasan guru lukisnya. Dan saya ada di kesimpulan, bahwa guru lukisnya sangat Walt Disney dan Upin-Ipin minded, identik dengan Bu Rina, sehingga perlu "diberi wawasan". Disamakan persepsinya dalam menilai objek lukisan, demikian barangkali tepatnya. Itu karena saya melihat Agree sedang berusaha out of the box (sesuatu yang layak saya dukung), dengan menggambar tokoh kartun yang berbeda dari biasanya. Dia menggambar tokoh Bang Jarwo, salah satu tokoh dalam film animasi Adit dan Sopo Jarwo yang tayang di MNC TV (jika Mas Yantobiasa bergumam: "Sekarang Bos?", itu beliau nukil dari percakapan khas sahabat Bang Jarwo dalam serial tersebut, Bang Sopo. Saya dianggap Bang Jarwonya, mungkin, huhh).
 


Agree dan Bang Jarwo

Saya pun mengusulkan agar Agree menempelkan foto Bang Jarwo di belakang kertas pekerjaannya itu. Tujuannya agar gurunya paham apa yang dilukis Agree. Untuk memberikan pengantar dan menyamakan persepsi. Persepsi tentang objek yang dilukis. Dan berharap tidak terjadi kasus seperti saya saat jaman kelas 3 SD dahulu.

Bang Jarwo

Wassalamuálaikum wr.wb.

Menyamakan persepsi menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan dalam setiap penyelesaian masalah dan dalam kehidupan sehari-hari.  Tidak terkecuali dalam beragumentasi, ngobrol, meeting, berpacaran, bahkan saat bercanda sekalipun.



dari Wikipedia

SI TOTO DAN JODOHNYA

$
0
0

Assalamuálaikum wr.wb.



Saat remaja dahulu, saya punya sahabat, Toto namanya. Toto ini sepupu bintang sinetron Berliana Febriyanti. Ibunda Toto dan ayah Berliana kakak beradik. Namun jangan pernah membayangkan wajah mereka mirip. Berliana terlalu manis untuk menjadi sepupu Toto, haha.... Nggak koq, saya bercanda. Paras Toto juga lumayan. Bahkan Toto banyak sekali memiliki kelebihan. Dia ini alim, santun, pinter banget, dan baik banget. Kalaupun ada kelemahan, yang terpaksa dicari-cari, dia ini berkaca mata (dan ini bukan kelemahan bukan?).

Dari dahulu, kesetiaan terhadap komitmennya sangat terkenal. 
Misalnya saat Lia (demikian Berliana biasa dipanggil) yang berdomisili di Jakarta datang berkunjung ke rumah Toto di Cilacap, Toto akan berada di rumah seharian, dan dia akan mengatakan ke teman-temannya, bahwa dia tidak bisa bergabung dengan teman-temannya untuk beberapa saat, karena akan mengawal sepupunya itu, selama di situ. 

Tapi satu hal, dari dahulu karakternya adalah: takut berdekatan dengan wanita. Kami teman-temannya sangat paham jika Toto demikian. Teman-temannya banyak mem-bully Toto dengan tema ini. Bisa dimaklumi, karena teman-temannya berkeyakinan, Toto sering membuang kesempatan. Segala macam cara dilakukan teman-temannya untuk mendekatkan Toto dengan wanita. Wnita manapun. Tapi selalu gagal. Bukan karena sang wanita tidak mau dekat dengan Toto, tapi karena Toto yang takut memulai. Ya mana ada wanita pada masa itu yang agresif menyatakan cinta duluan. Dan akhirnya, bubar jalan selalu. Ujung-ujungnya malah si wanita ikut mem-bully si Toto. Glek, tobaat! 

Toto sebenarnya cukup bisa mendapatkan wanita yang dia inginkan.
Dia cukup bisa bergaul, menyenangkan, jenaka, pintar, alim pula (banyak ayat dan dalil naqli yang dia hafal di luar kepala). Tapi sayang, Toto tidak pernah mau memulai untuk mengejar wanita yang diidamkannya. Hingga wanita yang sebenarnya menjadi impiannya itu dilamar orang lain, demikian seterusnya. Satu persatu wanita itu lewat untuk dipandang Toto, untuk kemudian rubuh dalam dekapan pria lain. Toto selalu gigit jari, gigit tangan, dan terakhir gigit kaki (sorry saya agak emosional, saya selalu gemas jika mengingatnya). Pun padahal saya andaikan jika Toto saat itu mendekati adik perempuan saya, saya akan ikhlas mendukungnya.

Nah, sekarang ini, saat usia Toto sudah berkepala empat, Toto masih berkutat dengan pencariannya. Pencarian yang tidak terdefinisi. Bagaimana pencarian akan menemui hasilnya jika dia tidak pernah memulai. Gadis-gadis singgah di hati dan pikirannya, berganti-ganti, tapi tidak pernah diteruskannya ke ucapan atau tindakannya. Hingga sekarang. Detik ini.

Toto sekarang tetaplah Toto yang saya kenal. Yang jenaka, pintar, alim, dan baik. Juga Toto yang asyik dengan dunianya. Dunia pencarian.

Saya yang lebih muda dua tahun darinya, sudah punya anak remaja yang duduk di kelas tiga SMP. Sementara Toto, bahkan belum mempunyai calon istri. Itu yang tidak pernah terbayangkan dahulu, saat kami bersepeda bersama sambil mengobrolkan wanita idaman.


Wassalamuálaikum wr.wb.
Maka, saya menghimbau kepada rekan-rekan pria yang sudah dalam usia layak nikah dan masih lajang. Jika ada kesempatan menemukan wanita idamannya, ambil segera. Rebut kesempatan atau kesempatan tidak hadir lagi. Nyatakan cinta, lalu lamar.  


Toto nanti membaca posting ini. Saya punya fotonya, tapi
yang bersangkutan tidak berkenan fotonya dipasang,
jadi foto teman Toto saja yang saya pasang.

LAGI SEDIH - 2

$
0
0
(jika berkenan dan punya banyak waktu, silakan baca juga LAGI SEDIH - 1)  


Rumah Sakit Azra – Bogor, malam Minggu, 28 Maret 2015.

Assalamu'alaikum wr.wb.

Jumat pagi kemarin, saya baru saja menyelesaikan game kedua bulutangkis yang rutin saya lakukan setiap Jumat. Saya beranjak menengok ponsel yang tersimpan di tas. Biasa, mengantisipasi kemungkinan berita atau panggilan dari kantor. Saya mengernyitkan dahi ketika membuka menu panggilan tak terjawab. Ada sebelas kali missed call. Dari isteri saya. Ya, sebelas kali. Sebelas kali?  Berarti ada berita atau pertanyaan penting darinya.

Saya menelpon balik, tapi tak terjawab. Dalam interval lebih dari satu setengah jam setelahnya, saya terus mencoba menghubungi ponsel isteri saya. Tapi tidak berjawab. Saya berkirim SMS, pun tidak berbalas.

Cemas dan khawatir, tertekan, tersandera, dan harap-harap cemas beraduk di perasaan saya. Berbagai pikiran buruk menghinggapi, silih berganti. Jangan-jangan dan jangan-jangan, itu saja frase yang mengganggu saya. Keselamatan dan kesehatan anggota keluarga adalah concernutama saya. Efeknya, berpikiran negatif dan membayang kemana-mana. Saya memang biasa menjadi orang paling cuek di dunia, tapi saya pun kerap menjadi orang paling pencemas saat ada yang berkaitan dengan kabar orang-orang terdekat saya.    

Fragmen di atas itu adalah rentetan awal yang membawa saya ke tempat ini, sebuah tempat yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer jauhnya dari kediaman saya.

Baru saja saya membaca komik, lalu  koran, kitab suci, dan menonton siaran televisi, untuk kemudian mengetik di netbook kepunyaan anak saya pertama saya, Arien. Di ujung ruangan, isteri saya dan Arien terlelap di kasur lantai yang saya bawa dari rumah. Dan di ranjang ruang rawat inap ini, tokoh sentral kali ini, Agree (anak saya yang kedua), tergolek tak berdaya. Badannya panas dan sesekali mengigau. Dia baru saja tertidur setelah shalat Isya yang dilakukannya sambil berbaring.

Sebenarnya sudah seminggu ini Agree sakit. Kata dokter pada Senin lalu, Agree terkena radang tenggorokan. Tapi karena tak kunjung sembuh, isteri saya (yang sebelumnya menelpon saya sebanyak sebelas kali itu) membawa Agree ke rumah sakit (perjalanan ke rumah sakit itu yang membuat panggilan dan SMS saya tidak berbalas). Kali ini, rekam darah laboratoriun nyata-nyata menunjukkan dia sakit typhus (alhamdulillaahhanya sakit typhus, segala puji dan syukur karena sakitnya ini segera terantisipasi).



Seharusnya tadi pagi (Sabtu 28 Maret 2015) Agree mengikuti lomba menggambar. Guru-gurunya di sekolah sangat menggadang-gadangnya untuk bisa mencatat hasil baik tahun ini. Wajar saja. Agree langganan mewakili sekolahnya sejak dia duduk di kelas satu. Dari tahun ke tahun saya disuguhi pemandangan ganjil. Yaitu pemandangan Agree kecil (si mini, begitu Arien mengolok-oloknya), berhadapan dengan lawan-lawannya yang kebanyakan duduk di kelas lima - dan berbadan besar-besar. Nah, sekarang, saat Agree sudah duduk di kelas empat, pemandangan ganjil itu tidak terjadi lagi. Agree sudah memiliki postur yang cukup dikatakan berimbang dengan lawan-lawannya. Tapi sayang, tahun ini dia melewatkan lomba yang berjenjang hingga tingkat nasional itu.

Guru-gurunya memang kecewa. Terlihat jelas wajah kecewa pada mereka, saat kami menemui guru Agree kemarin. Tapi kami orang tuanya, tidak akan pernah memberikan kompromi lagi jika anak kami dihadapkan dengan masalah kesehatan. Jika sudah dibenturkan pada risiko kesehatan, maka kami menganggap prestasi bukan lagi sesuatu yang penting. Saya tidak akan pernah ingin mengulang blunder besar yang pernah saya lakukan dahulu. 

Malam ini saya susah tidur. Saya juga ingin berjaga semalaman, menjagai anak saya. Di samping saya Agree tampak tidur dengan gelisah. Tentu bohong jika saya katakan saya tegar dan cuek. Saya mungkin terlihat tegar di depan isteri saya. Tapi sebenarnyalah saya sangat cemas dan takut sekali. Banyak perasaan membayangkan yang aneh-aneh dan tidak-tidak menghinggapi saya. Saya selalu memperhatikan dada anak itu. Jika terlihat kembang kempis, maka saya berasa nyaman sekali. Saya hanya sangat takut kehilangan orang-orang yang saya cintai. Rasanya saya ingin sekali merebut penyakit Agree dan memindahkannya ke badan saya, lalu hanya saya sajalah yang merasakan segala penderitaannya. Itulah kenapa saat anak-anak saya sakit, terutama Agree sekarang, dan Arien saat kecil dulu, saya selalu mendekapnya semalaman. Berharap bisa mengalihkan penyakitnya ke saya, sambil selalu berdoa, semoga mereka diberikan umur panjang dan kelak bisa mencapai segala cita-citanya. Aamiin.


Wassalamu'alaikum wr.wb.
  • Sakit, mengingatkan kita untuk tidak tinggi hati. Sungguh kita sangat tidak berdaya saat Tuhan memberikan sakit.
  • Sakit, membuat kita dekat dengan Tuhan.
  • Sakit, menyadarkan kita sadar untuk rajin menabung. Ketersediaan anggaran untuk mengantisipasi pengeluaran tak terdeteksi, harus ada.
  • Sakit, menjadikan kita semakin bersyukur, terutama saat menyaksikan pasien lain yang lebih menderita.
  • Sakit, membuat seisi rumah semakin kompak dan satu jiwa.
  • Sakit, menyadarkan kita untuk menjaga perilaku hidup sehat. 

ATASAN DAN BAWAHAN

$
0
0

Assalamu 'alaikum wr.wb.



MALAS KE KANTOR



Berangkat bekerja dengan perasaan cemas dan khawatir, kemudian galau dan takut sebab akan bertemu dengan atasan yang mempunyai a view to a kill? Pun sang pekerja seperti anak kelinci yang hendak dimasukkan ke dalam kandang serigala. Hidup segan - mati tak mau - pura-pura mati pun belum tentu selamat. 

Beberapa teman saya di luar sana mengalami situasi ini. Sering dia mengeluh, merutuk, menghujat, bahkan menyebut ingin sekali membunuh atasannya. Kasihan, mengenaskan, sekaligus menggelikan. Jenaka tepatnya, hiiihi (#senyum nyinyir). 


Seorang teman lain bercerita bahwa seorang rekan di ruangannya bahkan sampai menangis sesenggukan di kos-kosannya karena jengah dan "tobat" dengan ulah atasannya yang sadis (saya jadi kebayang Nini Tlembuk yang berhasil membuat Si Bilung hanyut berkubang dalam lumpur asmara).


Dan lain-lain kisah di seputar permasalahan tersebut yang mungkin klise jika diceritakan. Yang pasti kasus ini nyata, ada, bahkan berlimpah. Silakan disurvei jika ingin membuktikannya.

Alhamdulillaah saya tidak mengalaminya. Pertama, mungkin karena saya cuek. Saya bisa sekokoh batu karang yang diterjang ombak di lautan (padahal saya sebenarnya ubur-ubur lemah yang mudah mati, tapi mental saya hiu banget, keren nggak?). Mau bekerja dengan atasan berjenis kelamin apapun, senyentrik apapun, sejahat apapun, bahkan seperti Kaisar Ming sekalipun, saya hanya bilang: asyik aja! Kedua, khusus untuk saat sekarang, karena saya mendapatkan atasan yang tidak killer. Atasan saya berkepala dingin dan tidak mudah panik. Dia rileks dan tidak kaku menghadapi pekerjaan. Sehingga saya yang terbiasa nyantai dan ringkih ini mudah saja untuk menyesuaikan irama kerjanya. Saya sangat mesyukurinya. Merdeka!

KANTOR ITU KHAS 

Kantor memang ekosistem yang unik. Di situ kita dipertemukan dengan banyak tipikal kepribadian. Ada yang good guy, bad guy, mixed thing, so-so, bahkan nyeleneh. Dalam konteks bawahan (saya dan kawan-kawan), ada yang menganggap kantor adalah segalanya. Hidup matinya hanya untuk kantor. Ada yang menganggap kantor hanyalah tempat bekerja yang tidak perlu dipikir panjang kali lebar dalam menghayatinya. Yang penting bekerja dengan baik, misi mencari nafkah pun tercapai lancar (barangkali saya ada di kwadran ini). Ada pula yang menjadikan kantor sebagai jembatan karier yang akan mengantarnya memenuhi cita-citanya. Sah-sah saja. Pun ada yang menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan sejuta ambisinya. Itu semoga hanya segelintir saja. Tapi kantor memang kompleks, penuh spesies dengan segala karakter dan kebiasaannya.

Atasan, hampir identik seperti bawahan sebagaimana di atas tadi. Tapi karena ada asesoris jabatan melekat pada namanya, maka sang atasan ada yang menganggap dirinya sebagai kepala suku. Dialah yang menganggap dirinya memiliki kekuasaan dan menjadikan orang lain sebagai rakyat jelata yang mengabdi dalem padanya. 


Gambaran sekilas di atas itu yang membuat lingkungan kantor menjadi khas. Semakin khas karena ruang lingkupnya yang terbatas, hanya dibatasi tembok dan partisi berbentuk segi empat, atau gabungan dari beberapa segi empat (kecuali Gedung Bundar yang berbentuk trapesium). Dengan area yang terbatas itu, membuat kita, mau tidak mau, secara ketat berinteraksi dengan segala bentuk penghuninya. Suka atau tidak suka harus bergaul intensif di sana. Berbeda dengan lingkungan non formal seperti lingkungan RT/RW yang areanya cukup luas sehingga saat kita merasa ada gangguan dari salah satu personelnya, kita bisa menghindarinya.

 
ATASAN DAN BAWAHAN
 
Saya mengidealkan kantor sebagai keluarga yang kedua. Semua makhluk hidup yang ada di habitat ini berbaur menjadi satu keluarga yang bersinergi, saling menyayangi, dan menjaga satu sama lain. Semua saling mengayomi, tidak ada yang menduduki fungsi yang superior, dan tidak ada yang merasa ditindas oleh yang lainnya.


Tapi kantor tetaplah kantor. Yang memang bukan sebuah keluarga biologis. Saat mulai masuk ke dalamnya, kita sudah menundukkan diri dalam sebuah format penjebakan. Jebakan sistem yang kita sudah menyepakatinya sejak sebelum masuk di dalamnya. Kita pun didaulat untuk tunduk pada sistem yang berdikotomi atasan-bawahan. Karena sudah tunduk pada sistem ini, maka kita tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya bisa berharap, tentang sebuah suasana yang ideal. Suasana sebuah keluarga. 

Tentang bawahan, mewakili jiwa saya, sebenarnya sepanjang format komunikasi one way dari atasan jelas, maka saya sebagai bawahan akan dengan senang hati melaksanakannya. Syukur-syukur bisa two way, akan lebih sumringah bekerjanya. Ini berbeda sekali jika pekerjaan diperintahkan dengan wajah yang mengancam (apalagi sambil membawa gebukan... heee) tentu saja saya barangkali menjadi tidak tenang dalam melaksanakannya. 


Tentang atasan, figur inilah yang dituakan dan dianggap sebagai orang tua di kantor. Sebagai orang tua, maka wajar jika para pekerja selaku anak-anaknya mengharapkannya bersikap demokratis. Simpel. Atasan itu yang penting mau mendengar lawan bicaranya, siapapun di depannya, pasti akan saya berikan jempol besar. Atasan seharusnya bukan sebagai orang yang merasa paling benar dan pintarnya hanya mengkritik dan mengecam orang lain. Apalagi jika semua orang selain dirinya dianggap tidak berjalan di rel yang lurus. Lebih parah lagi, sang atasan tahu-tahu frustrasi, lalu membabi-buta memberi sanksi. Atasan seperti inilah yang menciptakan iklim ketakutan (sebangsa kecemasan global ya? hihi...). Kehadirannya membuat orang lain (baca: bawahan) deg-degan, gemetar, tidak betah, bahkan merangsang timbulnya nafsu untuk membunuh (lebay ya?). Apalagi jika dia selalu pasang muka amarah dan tidak mau dibantah.Jenis atasan seperti ini obatnya hanya satu: peluru. Alternatifnya: granat!


TIDAK ADA ATASAN/BAWAHAN


Tapi tenang saja. Di struktur birokrasi (oh iya saya bekerja sebagai PNS) sebentar lagi tidak akan ada jabatan eselon III (Kepala Bagian, Kepala Subdirektorat, Kepala Bidang, dan sejenisnya). Tidak ada pula jabatan eselon IV (Kepala Seksi, Kepala Subbagian, Kepala Subbidang, dan sejenisnya). Mereka kelak akan bermetamorfosis (mungkin metamorfosis tidak sempurna... sebangsa laron) menjadi perangkat fungsional biasa, (seharusnya) berkedudukan setara dengan pegawai yang lain, bahkan sama dengan pegawai yang baru masuk di tahun pertama. Yang membedakan hanya angka kredit atas prestasi kerjanya, meski barangkali faktor senioritas masih akan ada, dan kental. Nanti yang tersisa hanya pejabat eselon I (Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Deputi, Kepala Badan, dan sejenisnya) dan eselon II (Direktur, Kepala Biro, Asisten Deputi, Kepala Pusat, dan sejenisnya) (ahh ini lagi, kenapa tidak dipangkas sekalian. Ngagok-ngagokin saja).

Kebijakan ini sungguh sangat mencerminkan keinginan batin saya. Keinginan untuk hidup yang serba sama. Senasib dan sederajat. Inilah yang di mata saya merupakan langkah awal sebuah tahapan indah. Tahapan menuju kehidupan negeri yang tanpa kasta. Ini akan mengakhiri keparatnya penindasan di kantor-kantor pemerintah. Bayangkan seorang atasan dengan semena-menanya main suruh dan misuh-misuh tanpa sebab kepada orang yang dianggap bawahannya, hanya karena dia baru diomelin oleh atasannya yang lebih tinggi. Lalu mentang-mentang merasa menjadi atasan, dia bisa memainkan emosi dengan marah-marah seenak udel, lalu dengan semena-mena memberi sanksi pula. Benar jika peluru atau granat obatnya. Atau rudal sekalian.

Masih mending jika orang yang dimarahin punya hak balas. (Mungkin kantor menjadi lebih semarak ya, jika saat bawahan dimarahin, sang bawahan boleh membalas dengan marah-marah yang tak kalah beringas. Atau saat dipenthung bisa membalas dengan menthung juga. Keren tuh). Syukur-syukur ada hak untuk menantang berkelahi. Atau minimal boleh menyuruh balik kepada orang-orang kaum atasan. Saya kira fair. Lha sekarang ini kan tidak. One way anger. One way instruction. Bahkan kalau berani melawan, jangan-jangan malah terancam dimutasi ke ujung dunia. Di dekat Planet Pluto sana. 

LAWAN SAJA ATASAN YANG CONGKAK


Begini sebenarnya. Dalam sebuah sistem kerja, garis disposisi memang harus ada. Aliran pekerjaan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, tentu ada. Dan tentu akan terjadi chaos manakala semua serba serta merta dan tanpa sistem seperti itu. Gugus tugas tetap harus eksis. Alur koordinasi tetap menjadi sesuatu yang vital. Bukan mekanisme ini yang kita gugat, tapi kemasan dalam berinteraksi yang seringkali dirasakan sebagai sandungan. Dalam berinteraksi itu, idealnya menurut saya bukan menggunakan paradigma atasan – bawahan an sich, tapi lebih sebagai sebuah keluarga. Bapak-ibu-kakak-adik. Sebagai sesama anggota keluarga yang saling menghormati dan saling memanusiakan sesamanya. Sebuah bullshit besar bukan, jika dalam berbagai forum dinyatakan bahwa komunitas kantor adalah sebuah keluarga besar, jika pada kenyataannya mereka pada saling pendelikan dan membenci bahkan menjatuhkan satu sama lain.
 
Pemimpin (baca: atasan) tentu diperlukan sebagai kepala sebuah keluarga, tapi pemimpin di sini lebih sebagai tanggung jawab, bukan sebagai posisi. Pemimpin yang berbicara dan bertindak dengan hati, bukan hanya dengan kepalanya. 

Figur atasan doktriner yang kaku, suka membentak, dan enteng dalam memberikan hukuman, sebaiknya ke laut saja. Dia pasti punya masalah dengan dirinya. Apalagi atasan yang maunya enak-enak. Jika dia membuat kebijakan, tidak berani bertanggung jawab. Bersembunyi di balik ketiak para bawahannya. Menghindar jika mau disudutkan. Milih-milih mengerjakan yang enak-enak saja, yang menguntungkan dirinya saja. Kalau pernah mendengar cerita tentang komandan pleton pasukan perang yang mundur ke garis belakang di tempat ibu-ibu penyedia ransum, ya ini dia variannya. Coba saja, kalau misalnya di sini terjadi perang, paling banter dia bakalan pura-pura mati. Berani taruhan! 

Untuk itulah saya sangat mendukung, birokrasi sehat yang tanpa kelas, tanpa strata, dan tanpa kasta. Negeri yang sepadan dalam hubungan antar warganya mungkin bisa dimulai dari dipangkasnya jabatan di birokrasi. Karena manusia diciptakan tidak untuk berkasta-kasta. Semuanya sama sebagai makhluk Tuhan yang saling menghargai eksistensinya. 

Atas nama kesetaraan, maka saat berlakunya era baru nanti, silakan dikritisi saja bagi orang yang masih mengaku atasan tapi adigung dan zhalim serta suka menyiksa anak buah. Terlebih nanti 2016, semuanya sama, peran atasan berganti, bukan atasan lagi. Kalau masih bersikap sebagai atasan yang kemaki dan mengobral sanksi, seyogianya dilawan saja, lalu diseret untuk kemudian dibuang ke laut. Atau ke lahar.


Wassalamu 'alaikum wr.wb.

(Masya Allah, saya membayangkan betapa indah sekali nanti negeri ini, negeri tanpa kasta). 


Memenuhi rikues Mbak Ririe cs,
ini dia teman-teman pria saya di ruangan

LAGI-LAGI BINGUNG MAU POSTING APA, GINI AJA DEH, SILAKAN KOMEN KALO MAU.

STIKER HAPPY FAMILY

$
0
0


Assalamu'alaikum wr.wb.



Teman-teman pernah memperhatikan stiker yang terpampang di kaca belakang sebuah mobil pribadi? Jika pernah, tentu sesekali pernah menyaksikan stiker bergambar kartun anggota keluarga kan? Saya tidak tahu persis nama populernya, tapi kerap tertulis di situ: Happy Family, atau ada yang menyebutnya Family Car Sticker. Intinya, stiker itu menggambarkan komposisi anggota keluarga: bapak, ibu, anak-anak, bahkan hewan peliharaan (bukan ikan lele, apalagi jangkrik). Populer, menarik, dan merangsang saya untuk latah.  

Tapi, sebenarnya apa sih gunanya memajang stiker di tempat yang sangat eye catching begitu. Banyak orang berpotensi menyaksikan stiker itu. Atau memang ditujukan agar semua orang bisa menyaksikannya? 

Begini ya. Stiker itu kan bisa disaksikan orang banyak. Lalu, bukankah tidak semua orang yang menyaksikan stiker itu adalah orang baik? Banyak yang menasbihkan diri sebagai pelaku kriminal bukan? Nah, dari stiker kartun bergambar keluarga dalam formasi lengkap itu, secara potensial akan membantu si pelaku kejahatandalam mengidentifikasi calon korbannya.  
  • Mereka (pelaku kejahatan) akan secara cepat berhitung mengenai potensi tingkat kesulitan saat hendak berbuat kriminal terhadap pemilik mobil. 
  • Seandainya mereka hendak menculik, mereka telah mendapat informasi awal tentang nama anak-anak, nama bapak, nama ibu, bahkan nama hewan peliharaan.
  • Mereka menjadi tahu profesi kepala keluarga (yang bisa diperkirakan kapan saatnya sang ayah dan ibu keluar rumah dan kapan berada di rumah).
  • Mereka tahu berapa kira-kira usia anak, berapa jumlah anggota keluarga, dan apa aktivitas anggota keluarga.
  • Mereka tahu nama anak yang diincar dan dengan mudahnya, dan akan mudah menyapa si anak dengan namanya. 
  • Mereka bahkan tahu jenis hewan peliharaan yang ada di keluarga itu. Maka sang penjahat akan menggunakan strategi saat mengetahui bahwa anjingnya bukan jenis penjaga, misalnya.  
Jadi secara langsung, ada informasi gamblang yang terbaca saat mobil berlalu lintas. Penyajian informasi yang telanjang, bahkan untuk informasi yang sangat personal, tersaji untuk siapapun, termasuk pelaku kejahatan. Berbahaya bukan?

Nah, jika ingin melihat contoh stiker yang aman, lihat contoh punya saya ini:

KLIKpada gambar untuk memperjelas penglihatan Anda.
Jika masih kurang jelas berarti masalah ada pada saya. 

Stiker di atas ini bisa dipasang dimana saja, di mobil atau di depan rumah. Dijamin, para penjahat akan berpikir panjang untuk mengusik kita! hehe...


Wassalamu'alaikum wr.wb.


INI IKLAN YANG TULUS TANPA PAMRIH

$
0
0



Assalamuálaikum wr.wb.


Beberapa waktu lalu saya menyaksikan kekonyolan di sebuah saluran televisi. Begini ceritanya. Saat itu Syahrini (sebagai host sebuah acara bernuansa konser yang disiarkan secara live) mencicipi sekeping kue kering yang menjadi brand pengusung acara itu. Saat peralihan scene (antara scene Syahrini makan kue itu dengan scene iklan), kamera ternyata belum padam dan tetap dalam posisi nge-syut sang princess. Lalu tertangkap sebuah adegan ganjil: Syahrini membuang kue tadi setelah memakannya secuil. Padahal sebelumnya dia bilang: "hmm... enak sekali..." sambil merem melek dan menjulurkan lidahnya. Hm...?!

Lalu jika Teman-teman memperhatikan iklan sebuah minuman kesehatan yang bintangnya keroyokan, silakan dicermati, ada di antara mereka yang memperagakan adegan minum - tapi tidak minum. Sang bintang seperti minum produk itu, namun secara kasat mata saya meyakini dia tidak meminumnya. Barangkali dalam behind the scene, dia memuntahkannya. Ingin contoh lainnya? Saksikan iklan sebuah produk water purifier (filter air), sang model terlihat jelas berpura-pura dalam meneguk air. Kampreet...


Gejala di atas hanya segelintir yang sempat saya perhatikan. Bintang iklan yang terpilih secara absurd, irrasional. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan saya. Kenapa orang-orang yang tidak tulus seperti itu dijadikan bintang iklan. Saya tidak tahu seperti apa iklan-iklan lainnya, jangan-jangan sama dan sebangun.

Pengantar di atas memang tidak nyambung dengan apa yang akan saya ceritakan sekarang. Di sini saya hanya akan memuji sebuah produk. Posting ini bukan dalam rangka kontes giveaway, bukan sebagai kontes produk, iklan, atau apapun. Ini hanya sebuah ungkapan tulus dari seorang saya tentang sebuah produk. 

Begini. Perhatikan foto di bawah ini. Ini foto yang dibuat tahun 1994, saya lupa tanggal dan bulannya. Foto ini masih dengan format kamera lubang intip, bukan digital. Tampak di situ saya bersama seorang gadis, teman kuliah saya. Dia mengenakan kemeja bermerek ARNETT. 

Ini saya, bersama calon ibunya
Arien-Agree, medio 1994

Kemeja itu konsisten dia kenakan semasa kuliah, hingga dia lulus pada tahun 1998. Tahun 1999, gadis yang beruntung itu (pasti langsung pada nyibir nih) saya persunting sebagai isteri saya. Dan kisah tentang kemeja itu pun berlanjut. Saya mengakuisisinya dan saya nobatkan sebagai busana kebesaran saya. Kemeja itu sering sekali saya pakai, terutama jika kondangan, pengajian, reuni, atau acara-acara resmi dan tidak resmi lainnya. Hehe, untung orang-orang tidak pernah bertanya tentang status kemeja itu (andai ditanya pun saya akan mengaku-ngaku milik saya orisinil koq, hehe...). 

Nah, di bawah ini adalah foto saya pada 2007. Foto diambil di sebuah tempat jauh di sana. Saya mengenakan kemeja eks. pacar saya itu, dan saya andalkan dalam kesempatan jalan-jalan di suatu siang. Keren kan baju saya?



Ini saya, Oktober 2007


Terakhir, di bawah ini adalah saya sekarang. Dengan kemeja ARNETT tadi yang masih eksis hingga sekarang. Tanpa ada warna yang luntur, dan tetap dengan bahan kain yang masih solid. Saya memakainya saat bekerja di kantor.


Ini pun saya, April 2015

Demikianlah. Dengan ini, dengan segenap rasa tulus di hati, saya merekomendasikan produk ini, ARNETT, sebagai merek kemeja terkeren yang pernah ada. Eks. pacar saya membelinya pada tahun 1994, dan masih bertahan sangat baik pada saat ini, 2015. Dua puluh satu tahun usia kemeja ini! Setara dengan umur manusia dari lahir sebagai bayi hingga si bayi sampai pada usia kawin. Sungguh produk yang sangat berkualitas.


Wassalamuálaikum wr.wb.
 



EMPAT PILAR KEBANGSAAN

$
0
0
Assalamu'alaikum wr.wb.



Beberapa waktu lalu, dalam lembar ujian anak saya Agree terdapat soal yang erat kaitannya dengan EMPAT PILAR KEBANGSAAN. Agree pun lancar menyebutkan slogan nasionalisme itu. Karena materi empat pilar itu masuk sebagai bahan ajar untuk anak-anak didik.


Empat Pilar Kebangsaan yang dimaksud, yaitu PANCASILA, UUD 45, BHINNEKA TUNGGAL IKA, dan NKRI , adalah slogan yang dibakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai doktrin mutakhir yang populer belakangan ini. MPR bahkan telah menerbitkan buku tentang itu dalam rangka sosialisasi doktrin nasional yang baru dikenal pada era MPR modern ini.

Dalam situs resmi MPR, dinyatakan:

".....Pemilihan nilai-nilai luhur bangsa ini sesuai dengan kewajiban Anggota MPR sebagaimana diatur dalam Keputusan MPR Nomor 1/MPR/2010 yaitu antara lain... memasyarakatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta memperkukuh dan memelihara kerukunan nasional serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. ....sejalan dengan tugas Pimpinan MPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 dan Keputusan MPR Nomor 1/MPR/2010...Pimpinan MPR mempunyai komitmen untuk menyosialisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Nilai-nilai tersebut selanjutnya disebut dengan istilah Empat Pilar. .....Kata "Empat Pilar" digunakan untuk memudahkan dalam melakukan sosialisasi sedangkan keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang berbeda. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara kedudukannya berada di atas tiga pilar yang lain....."

Hebat?


Mungkin. 
Tapi belum hebat buat saya.

Menurut saya, teori kebangsaan itu keliru dan menyesatkan secara ideologis.


Mendudukkan PANCASILA, UUD 45, BHINNEKA TUNGGAL IKA, dan NKRI sebagai komponen yang seimbang, secara ketatanegaraan tidak dapat dibenarkan. Salah. 

Begini. Pilar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tiang. Tiang di sini berarti penyangga. Tapi di situs MPR dinyatakan bahwa Pancasila mempunyai kedudukan di atas pilar yang lain. Tambah salah. Karena di atas pilar tentu disitulah keberadaan atap. Dan mendudukkan Pancasila sebagai atap tetap saja keliru, (maaf) ngawur.

Padahal dalam KetetapanMPRS Nomor XX/MPRS/1966, Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar negara, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang merupakan dasar atau fundamen negara yang akan didirikan. Maka keberadaan Pancasila tentu sebagai pondasi, sebagai dasar, bukan pilar, apalagi atap. 

Sungguh, maaf, kali ini MPR mengecewakan karena telah membuat penyesatan seperti ini. Bukan apa-apa, kasihan anak-anak kita yang sudah disesatkan pemahamannya.  


Wassalamu'alaikum wr.wb.




MODEL YANG PNS

$
0
0

Assalamuálaikum wr.wb.

Foto lembar majalah di atas adalah iklan sebuah produk. Saya mengambil gambar ini dari majalah Femina terbitan pekan lalu. Iklan ini juga tertebar di beberapa majalah serta tabloid lainnya terbitan terbaru.

Iklan ini membuat saya berbangga. Apa pasal? Karena saya mengenal baik modelnya.

 
Ya, model iklan di atas itu bernama Weenta. Weenta adalah salah seorang rekan di ruangan tempat saya bekerja (tentang teman-teman saya, pernah saya posting beberapa waktu lalu, silakan di-refresh, cukup dengan menyaksikan foto di samping ini. Klik pada foto jika ingin mengamati dengan seksama. fyi, ada beberapa yang masih single).


Weenta seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pendiam. Dia mempunyai jadwal relatif ketat dari pukul setengah delapan pagi hingga pukul lima sore - sesekali overtime - juga harus meeting ini-itu. Tapi dia bisa membagi waktunya untuk sebuah pekerjaan yang dia bilang "iseng". Pun dia mempunyai filter yang kuat dalam menekuni dunia yang sekarang menjadi sambilan buatnya. Jadwal pemotretannya pun dia setting untuk tidak mengganggu jadwal kerjanya. 



Dan hebatnya, hampir tidak ada orang yang tahu kesibukannya yang satu ini. Bahkan saat fotonya dipajang di majalah, hanya kalangan tertentu yang mengetahuinya. Barangkali melalui posting ini, teman-temannya di kantor mulai tahu kesibukan lain gadis yang mengakhiri masa lajangnya akhir pekan ini (link posting ini akan saya sebarkan ke teman-teman, sorry Ween, sungguh ini karena kami ikut berbangga). Ini yang kemudian menginspirasi saya. Tentang diam, dan tentang emas. Tentang diam itu emas, dan emas itu diam. Ketenangan bukan berarti tidak bergerak dan keberhasilan memang tidak perlu dipublikasikan. Begitu bukan, Ween? 

  ----------------------
Eniwei, selamat Ween. Kami berbangga hati. 
Teruskan sambilan hebat ini. Juga selamat menempuh hidup baru.
Saya, juga rekan-rekan di ruangan, pasti mendoakan.
Semoga sukses dan menjadi bagian dari yang sakinah. 

Wassalamuálaikum wr.wb.

BEGAL

$
0
0

 
  bukukomiku.com


Assalamuálaikum wr.wb.


Setelah booming beberapa waktu lalu, istilah begal masih ramai dibicarakan hingga saat ini. Di media massa, di pinggir jalan, di kantor-kantor, di panggung ilmiah, bahkan di forum wakil rakyat, masih dibahas isu populer tentang begal, sebagai fenomena yang meresahkan.

Begal sebenarnya istilah lama yang populer kembali pada masa kini. Makna leksikalnya, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, begal berarti penyamun; membegal berarti merampas di jalan. 


Dari sisi etik kebiasaannya, sejak dahulu begal biasa beroperasi di area bebas hukum, daerah tak bertuan, atau daerah liar. Jika teman-teman membaca komik Lucky Luke, tentu mudah ditebak bahwa begal banyak ditemui di wilayah yang tidak terdapat kantor sherif atau tidak ada kantor pengadilan. Saat orang/kelompok berkendara menggunakan kuda atau karavan melalui wilayah itu, kadang-kadang bertemu dengan kawanan begal, baik yang berasal dari kaum kulit putih (migran) maupun kulit merah (pribumi).



Dalam berbagai hikayat di pulau Jawa, pun tidak sulit ditemukan catatan sejarah tentang penghadangan atau perampasan terhadap para saudagar yang sedang dalam perjalanan. Lagi-lagi, senafas dengan yang ditampilkan di komik Lucky Luke, begal hadir di jalanan yang tidak bertuan, tidak berhukum, misalnya kawasan alas perdikan, ujung desa, di ruas jalan luar kota, atau hutan belantara. Intinya, begal bergerak di tempat bebas dan liar, yang jauh dari peradaban dan jangkauan petugas. Jauh dari hukum.


Nah, saat ini definisi begal rupanya mengalami pergeseran. 
Begal sudah mengalami perubahan, ke arah yang keterlaluan. Begal tidak lagi memegang kode etik untuk beraksi di luar wilayah yang berhukum. Namun kini begal bisa hadir di sekitar kita, di jalan kampung, bahkan di rumah kita.

Artinya, dalam konteks mendefinisikan ulang pengertian begal, begalkah yang salah? Atau kita yang salah?  

Begal jelas salah, karena telah melangkah ke tempat yang seharusnya dia tidak beroperasi.  Di wilayah yang ada rambu-rambu hukumnya.

Kita barangkali juga salah, karena kita tidak pernah menjadikan wilayah kita sebagai wilayah hukum. Hukum kerap kita langgar, dan kita seringkali memberikan toleransi atas berbagai deviasi dan pelanggaran hukum. Yang mengakibatkan: begal menganggap di wilayah ramai, termasuk wilayah kita pun sebagai wilayah tanpa hukum.

Wassalamuálaikum wr.wb.

UN

$
0
0
Assalamu'alaikum wr.wb.

Saat ini saya sedang banyak berprihatin, berdoa, dan berikhtiar. Sebab anak pertama saya, Arien, akan menghadapi Ujian Nasional (UN) SMP mulai Senin pekan depan. Saya selalu didera perasaan cemas ketika anak-anak saya harus menghadapi momentum penting seperti ini (padahal saat saya mengalaminya sendiri bertahun-tahun silam, saya sangat rileks, dan tentu saja tanpa perasaan berdosa jika gagal sekalipun).
...
Dalam menjalani UN kali ini, Arien tidak merasa nyaman seperti tiga tahun lalu, ketika dia menjalani UN SD. Pada waktu itu, saat pelaksanaan UN, Arien sudah lebih dahulu diterima di SMP impiannya, SMP 1 Bogor (saya posting di SATU PINTU LAGI TERBUKA UNTUKMU ANAKKU), melalui jalur prestasi (lukis).  Jadi Arien bisa menggarap soal-soal UN tanpa beban. Sangat rileks dan hanya bermain aman. Yang penting nilainya memenuhi batas kelulusan, maka dia masuk SMP 1 Bogor.

Sekarang Arien tidak merasakan kenyamanan seperti tiga tahun lalu. Ini karena pengumuman pendaftaran SMA melalui jalur prestasi diumumkan setelah pelaksanaan UN nanti. Arien memang telah mengajukan pendaftaran ke SMA 1 Bogor melalui jalur prestasi (olympiade matematika).
...
Ada perasaan khawatir pada diri saya. Saya tengah kecewa dengan kebijakan Walikota Bogor. Kebijakan seorang Bima Arya yang dikatakan media sebagai seorang reformis. Maaf saya katakan: tidak. Dia bukan reformis. Terutama sejak dia membuat kebijakan begini:
Kutipan: 
"Memperhatikan anak pendidik dan tenaga kependidikan
yang bertugas di sekolah yang bersangkutan..."
Jadi, pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini, untuk anak kepala sekolah, guru, dan tenaga-tenaga sekolah seluruhnya, akan dilewatkan melalui jalan tol: lolos tanpa syarat sebagai calon peserta didik prioritas. 

Bagi saya ini praktik kongkalikong yang dilegalisir. Dan sadarkah dia akan logika ini: semua instansi memberlakukan kebijakan demikian, misalnya pegawai Ditjen Pajak - anaknya masuk STAN tanpa syarat, tentara - anaknya masuk AKABRI tanpa syarat, dan sebagainya. Maka bisa dibayangkan betapa cita-cita tentang kualitas menjadi barang basi. Dan yang patut dicatat, kebijakan ini tidak ada sebelum Bima Arya menjadi walikota. Setelah dia terpilih, inilah dia persembahan terbaiknya. Entahlah, saya pusing dengan jalan pikirannya. 

Juga kebijakan Pak Bima yang begini:
Kutipan:
"Kartu Keluarga (KK) Asli Khusus Warga Kota Bogor"
Jadi pada saat pelaksanaan PPDB, siswa harus melampirkan Kartu Keluarga. Bagi saya, ini indikasi akan adanya kebijakan primordial. Menurut feeling saya, mungkin nanti pendaftar dibatasi hanya untuk calon peserta didik yang berdomisili di Kota Bogor saja. Atau paling tidak, ada skala prioritas yang terbaca di kebijakan ini. Sementara Arien, meski bersekolah di Kota Bogor, tapi berdomisili di Kabupaten Bogor. Ini yang membuat Arien kalah sebelum bertanding. 

Sejak kapan mendaftar sekolah dipersyaratkan Kartu Keluarga? Jawabannya: sejak orang ini menjadi walikota Bogor. Setahu saya, tidak pernah ada kebijakan-kebijakan seperti di atas, di manapun. Kecuali daerah-daerah yang primordialis dan tidak sejalan dengan cita-cita konstitusi tentang pemerataan pendidikan, tentu saja. Teman-teman saya dahulu banyak bersekolah SMA di luar kota dan tidak terhalang oleh kebijakan apapun. Rupanya Pak Bima tidak sadar, kebijakan ini hanya akan memberi ruang negosiasi yang tidak sehat nantinya. 

Dua fakta di atas membuat sedikit gangguan dalam moral bertanding Arien.

Tapi apapun, Tuhan Maha Penyayang. Saya percaya, segalanya telah diatur dan selalu ada jalan terbaik dari Allah untuk hamba-Nya. Usaha maksimal sudah dilakukan, segenap doa dikerahkan, dan segala dukungan pun ikhtiar telah dijalankan. Saatnya untuk tawakal dan menyerahkan pada kebijakan Allah yang menentukan.   

Melalui posting ini, saya meminta doa restu dari Teman-teman semua. Saya sangat lemah dan tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan doa, termasuk doa Teman-teman semua. Saya ingin, anak saya dimudahkan dalam menjalani UN dan menapaki tahap-tahap cita-citanya dengan lancar, lalu Allah memberikan hasil terbaik untuk Arien.


Wassalamu'alaikum wr.wb.


  Forum-forum yang saya ikuti, sebagai bentuk ikhtiar dan 
agar bisa mendukung anak saya secara tepat sasaran

SATU

$
0
0
Assalamu'alaikum wr.wb.


Baru saja anak saya Arien berlalu dari pandangan saya, untuk bergegas menuju ruang kelas di sekolahnya. Hari ini dia mulai menjalani Ujian Nasional (UN).


UN kali ini, menurut Arien memerlukan energi ekstra, karena sekolahnya memberlakukan ketentuan lembar jawaban ganda. Jadi setiap siswa harus menjawab di dua lembar jawaban dengan jawaban yang sama. Saya tidak menangkap dengan jelas apa maksud di balik ketentuan itu. 

Saya hanya menyisakan rasa heran. Bukankah itu hanya akan menyusahkan siswa, juga pengawas/guru, dan berakibat inefisien saja. Menurut Arien, hanya di sekolahnya sajalah yang menerapkan ketentuan lembar jawab ganda, sementara sekolah lain tidak. Lah kan aneh. Dalam dua jam waktu ujian, siswa sekolah lain bisa menekuni soal yang berjumlah 50, mengoreksinya secara berulang sebelum mengumpulkannya, sementara di sekolah Arien sepertinya waktu akan habis untuk menyelesaikan coretan di dua lembar jawaban. 

Ahh terserahlah, saya tidak ingin mempermasalahkan tetek bengek yang tidak dimengerti otak saya yang bervolume kecil ini. Saya justru memberi semangat kepada Arien. Saya yakinkan kepadanya, bahwa dia sudah tertempa untuk berlari kencang, dan terbiasa berpacu dengan waktu saat mengarsir lukisan (barangkali analog dengan membuat bulatan jawaban di lembar jawaban). Saya tambahkan, justru ini menjadi keunggulan Arien karena dia sudah terbiasa berkutat dengan waktu yang ketat, yang belum tentu dimiliki teman-temannya. Tadi, Arien saya lihat mengangguk yakin. 


Ya, hari ini saya mengantar anak saya ke sekolah. Saya menyengaja untuk mendampinginya, dan mengambil cuti selama Arien menjalani UN. Saya ingin terlibat dalam UN Arien ini secara total, sejak mendampinginya belajar, membuatkan telor setengah matang kesukaannya, menyiapkan amunisinya, membuatkan rangkuman, mengajarkan beberapa strategi kepadanya, lalu mengantar dan menungguinya seperti saya lakukan sekarang. Arien sangat suka jika dalam kegiatannya - kegiatan apapun - didampingi bapaknya. Berbeda dengan adiknya yang lebih mandiri dan cuek.

sepuluh pensil dan tiga penghapus
Tiga tahun lalu, tepatnya 7 Mei 2012, saya pernah bercerita sesuatu yang persis saya lakukan ini, di posting UN HARI PERTAMAyang ilustrasinya begini:



Dan sekarang, saya ditemani setumpuk buku (terutama komik) dan CD grup musik yang saya anggap liriknya positif: Helloween dan Def Leppard. 


Tidak banyak yang bisa saya ceritakan sekarang. Saya mau menepi sesaat, berkonsentrasi dalam doa. Kepada teman-teman yang berkenan membaca tulisan ini, saya hanya minta doa untuk anak saya. Pasti Insya Allah akan menjadi energi yang sangat berarti untuk anak saya di dalam kelas sana. Sukses juga untuk rekan-rekan semua.   


Wassalamu'alaikum wr.wb.

DUA

$
0
0
Assalamu'alaikum wr. wb.




Seperti kemarin, pagi-pagi sekali saya sudah merapatkan kendaraan di sebuah halaman apotek, tidak jauh dari lokasi sekolah anak saya, Arien. Saya hendak memarkirkan kendaraan di depan sekolah Arien, tapi khawatir nasibnya seperti mobil naas seperti gambar di bawah ini. Foto ini saya ambil di area depan sekolah Arien. 




Arien yang tengah menjalani Ujian Nasional (UN) pada hari keduanya, alhamdulillaah nampak rileks dan tidak ambisius. Tapi malah saya yang berdebar-debar. 


Tentang berdebar-debar ini, tentu merupakan sebuah keadaan yang alamiah saja. Hidup memang penuh debar-debar.  

Saya mengalaminya dari sebuah fase ke fase yang lain. Saya ambil cut off  dari jaman SMA. Saat ujian (dahulu EBTANAS) SMA, barangkali saya melakoninya dengan rileks dan tanpa beban, tapi tetap saja rasa tanggung jawab kepada orang tua membuat debar-debar di jantung menjadi kencang. Lalu setelah ujian itu terlalui, melangkah ke ujian masuk perguruan tinggi (dahulu UMPTN), berdebar-debar lagi. Buat saya yang diharuskan masuk ke sekolah yang berbiaya terjangkau, tentu mengerahkan segala daya agar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Kemudian setelah lulus, kembali berdebar-debar saat kebingungan mencari pekerjaan. Begitu mendapat pekerjaan, alhamdulillah saya sudah memiliki calon pasangan hidup sehingga debar-debar dalam mencari pasangan pasca bekerja tidak saya alami. Berbeda dengan teman-teman yang belum mempunyai gambaran calon isteri/suami, sensasi debar-debar akan dialaminya. Setelah menikah dan berharap mempunyai keturunan, itu pun hadir debar-debar panjang lengkap dengan segala kekhawatiran. Setelah dianugerahi anak-anak, akan datang berbagai debar-debar saat anak sakit, terlambat pulang sekolah, ada masalah dengan teman-temannya, dan sebagainya. Lalu saat anak menjalani ujian seperti yang sekarang saya rasakan, debar-debar terasa lagi. Selesai? Tentu belum. Tidak akan pernah selesai. Akan terus dan selalu ada masalah yang berkonsekuensi debar-debar dari suatu fase ke fase yang lain. Selamanya.

Maka dari itu, dengan debar-debar alamiah yang saya ungkapkan di atas, tentu kita tidak perlu lagi menambahnya dengan debar-debar yang tidak alamiah yang sengaja kita buat. Maksud saya, kita jangan mencari masalah yang berujung pada debar-debar yang tidak sehat. Misalnya, seorang pelajar tidak elok untuk menyontek di kelas, seorang pegawai/karyawan tidak usah mencoba bermain anggaran/korupsi, seorang suami atau isteri tidak perlu lagi bermain api, dan sebagainya, yang hanya akan membuat beban bertambah dan debar-debar yang tidak sehat. Cukuplah dengan debar-debar alamiah yang sehat, yang jika kita melaluinya dengan gemilang, akan berujung pada kebahagiaan yang indah dan tentu saja ridha dari Tuhan, sesuatu yang paling essensiil. Hidup menjadi mudah, terasa sederhana, dan nyaman untuk dilalui.

Dan semoga debar-debar yang saya alami sekarang, akan beurjung pada kebahagiaan, yaitu berhasilnya anak saya Arien dalam menempuh UN. Doakan selalu ya teman-teman, saya pun berdoa untuk teman-teman semua, semoga senantiasa dianugerahi pencapaian yang indah setelah mengalami debar-debar yang alamiah dan sehat, pada setiap masa. 


Wallahu a'lam
Wassalamu'alaikum wr. wb.
(Saya ingat tiga tahun lalu, saat saya menulis HARI KEDUA)


TIGA

$
0
0

Assalamu'alaikum wr.wb.


Ini hari ketiga saya cuti, demi bisa mendampingi anak saya Arien menjalani Ujian Nasional (UN). Saya baru saja memarkirkan kendaraan di halaman sebuah apotek dekat sekolah Arien, dan menunggu di sini hingga dia kelar mengerjakan Bahasa Inggrisnya. Seperti biasa, jantung saya deg-degan. Padahal Arien kelihatan sangat rileks - alhamdulillaah - dan di sepanjang perjalanan dari rumah tadi dia tegas mengiyakan setiap petuah dan strategi yang saya sampaikan untuknya.

Betewe, tepat tiga tahun lalu, saya berkisah di posting HARI KETIGA, namun saya tidak mengalami deg-degan sebagaimana sekarang (itu karena Arien sudah memastikan diterima di SMP 1 Bogor sebelum dia menjalani UN, tidak seperti sekarang). Saat itu saya mengantar Arien yang menjalani UN Sekolah Dasar-nya. Di jalan, Arien sempat memotret Gunung Salak, dan sehari kemudian terjadi tragedi Pesawat Sukhoi menabrak gunung itu. Seorang kolega saya ikut menjadi korban dalam peristiwa naas itu.
Gunung Salak tiga tahun lalu
Arien dan seorang supporternya kala itu. 
Sayang sekarang sang supporter tidak libur, 
so tidak bisa mendampingi kakaknya bertanding


Tiga tahun kemudian, sekarang ini, ada bencana gempa bumi di Nepal, juga di Papua yang berpotensi tsunami, ada perang di Yaman, dan yang baru saja saya saksikan di jalan: bencana sosial berupa kemiskinan. 

Seorang ibu bersama anak lelakinya yang mungkin seusia Agree, memelas mengetuk jendela mobil di perempatan Warung Jambu Bogor. Sebenarnyalah saya trenyuh sekali Saya membayangkan wanita itu adalah ibu atau isteri saya, dan anak itu adalah saya atau Agree. Miris sekali. Dan tentu ada seorang lelaki di sana, sebagai suami dan ayah dari ibu dan anak tadi yang bertanggung jawab atas keadaan itu tapi tidak berdaya menghadapi takdirnya. Saya ingin berbagi dengan mereka, tapi di pinggir jalan di area ibu dan anaknya tadi, terpampang sebuah papan bertuliskan kutipan sebuah pasal di Perda Bogor yang melarang memberikan uang di jalanan. 

Demi menyaksikan itu, secara paradoksal saya ingat dengan sebuah kata kerja: bersyukur. Saya yang kecewa dan mengeluh tentang UN sebagaimana saya ceritakan dalam posting sebelumnya. Tapi saya lupa bahwa keikutsertaan anak saya di UN itu sendiri adalah sebuah anugerah. Bandingkan dengan anak-anak dari ibu tadi. Yang bahkan barangkali tidak terbayang dalam benaknya tentang apa itu UN. Sekolah saja tidak. Untuk dapat bertahan hidup saja sudah anugerah besar buat mereka. 

Saya hanya berperantara. Bersyukur dan berdoa untuk ibu dan anaknya tadi. Lalu saya mengharap Tuhan mendengar doa saya untuk Arien. Juga berharap doa dan dukungan teman-teman semua yang sangat berandil besar untuk Arien dalam UN kali ini. Terima kasih, semoga ijabah, dan teman-teman semua berjaya selalu. Maaf saya harus segera menepi, untuk sekedar memberi dukungan kepada anak saya. Dialah the real masa depan dan mimpi-mimpi saya. 



Wassalamu'alaikum wr.wb.

EMPAT

$
0
0
Assalamu'alaikum wr.wb


Pagi yang segar, saya sudah berada di tempat biasa, di tempat parkir sebuah apotek di bilangan Jalan Juanda Bogor. Anak saya Arien sudah berada di sekolahnya untuk mengikuti Ujian Nasional (UN) hari terakhir. 


Parkiran masih sepi, nanti jam delapan-an baru rame banget.
Hari ini adalah hari keempat saya cuti. Kegiatan saya saat matahari tampak adalah mengantar dan menunggui Arien di area sekolahnya. Kurang lebih pukul sepuluh selesai lalu saya antar kembali Arien ke rumah. Tidak begitu lama saya berangkat lagi mengantar Agree ke sekolah. Kemudian saya pulang, dan dalam hitungan menit, kurang lebih pukul setengah satu, saya harus kembali mengantar Arien ke bimbingan belajarnya, dan menungguinya hingga kelar. Waktu 'Ashar sudah berada di rumah, dan sisa sore itu saya gunakan buat relaksasi. Bebas.

Terbayang bukan, indahnya hidup sebebas itu. Tidak ada aturan ketat seperti di dunia sekolah atau pekerjaan. Andai boleh memilih, saya ingin seperti ini, bisa mendampingi anak-anak, tapi juga punya penghasilan pasif yang bagus, hehe...

Tiga hari pelaksanaan UN ini bagi Arien cukup merepotkan. Apalagi penyebabnya kalau bukan lembar jawab yang berjumlah dua biji itu. Waktu tersisa yang seharusnya digunakan untuk mengoreksi pekerjaan (yang biasanya menemukan kembali jawaban yang salah) harus digunakan untuk menyalin jawaban ke lembar jawaban yang kedua. Entahlah, saya masih belum bisa menerima kebijakan sekolah yang menerapkan ketentuan lembar jawaban ganda ini. Buat saya, ini hanya akan membuat sekolahnya kalah dari sekolah lain dari sisi rata-rata hasil UN-nya. Entahlah. 

Tapi satu hal, dari penuturan Arien tentang soal-soal UN selama tiga hari lalu, saya sudah banyak kehilangan relevansi. Maksudnya, saya banyak tidak mudeng dengan materinya. Andai saya harus mengikuti UN sekarang, barangkali saya tidak lulus, heee...

Apapun, soal-soal UN yang sulit itu merepresentasikan kebutuhan (baca: kemampuan) anak-anak di era sekarang. Mereka secara komparatif jauh lebih pintar daripada generasi saya dahulu. Jika dahulu seorang siswa yang bernilai rata-rata UN delapan koma sekian bisa menjadi ranking 1 se-kabupaten, sekarang dengan nilai segitu belum tentu bisa masuk sekolah favorit. Untuk lebih mendeskripsikan ini, silakan saksikan anak-anak sekarang, sejak bayi mereka sudah lancar menggunakan kibor komputer. Bandingkan dengan era saya yang ketika mulai melamar dan diterima kerja belum bisa menggunakan komputer. 

Anak-anak jalanan sekalipun, yang setiap harinya tidak memegang komputer, akan lincah sekali menggunakan jemarinya di kibor komputer saat berada di warnet. Silakan dibuktikan. 

Anak-anak sekarang, dengan segenap kelebihannya, adalah aset. Mereka mudah sekali menyerap ilmu apapun tanpa kesulitan. Tapi ini sekaligus sebagai catatan untuk kewaspadaan kita selaku orang tua. Mereka bisa dewasa sebelum waktunya, mengetahui apa saja yang belum saatnya diketahui, dan bisa sekali melawan ajaran orang tuanya yang mereka nilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan modernnya. 

OK-lah, bahan permenungan itu akan saya genggam sebagai pegangan dalam menjalani peran sebagai orang tua. Saatnya sekarang menepi dulu, ingin berdoa khusyuk untuk keberhasilan anak saya menjalani UN-nya. Doakan selalu ya Teman-teman. Saya juga berdoa semoga Teman-teman juga keluarga, sukses selalu dalam segenap pencapaian. 


Wassalamu'alaikum wr.wb

AVENGERS

$
0
0
Assalamu'alaikum wr.wb.



Tiga tahun lalu, saya dan anak saya nonton film The Avengers (saya posting pada 22 Mei 2012 di artikel nonton avengers yang nggak asyik). Saat itu bertepatan dengan momentum: Arien baru saja menjalani Ujian Nasional (UN) - SD. Tiga tahun kemudian, kami kembali nonton Avengers sequel kedua, Avengers:Age of Ultron. Waktunya pun sama:  Arien baru menjalani Ujian Nasional (UN) - SMP. Mungkin nanti sequel ketiga, Avenger: Infinity War (?)pun sama: Arien baru saja menjalani Ujian Nasional (UN) - SMA. Insya Allah, semoga anak-anak kami dikaruniai umur panjang dan berjalan gagah dalam perjalanan panjang menuju cita-citanya.

Eniwei harap maklum, saya adalah penggemar komik Marvel (juga DC). Jadi begitu ada aroma Marvel di bioskop, insting saya selalu ingin mengejar. Jadi meski ada alternatif film lain: Tuyul dan Tarot, saya bergeming, hehe... (Tiga tahun lalu pun, film The Avengers pun dipersaingkan dengan film domestik: Nenek Gayung dan Tiga Pocong Idiot. Sungguh strategi timing pemasaran yang kurang cerdas ya?)  

Untuk film Avengers kali ini, meski pakem ceritanya berbeda dengan cerita komik yang saya ikuti, saya sih asyik aja. Itulah dinamika, biasa untuk menjadi berbeda. Dari sisi penokohan, tidak ada yang konsisten. Tren humor saya maklumi menjadi kebutuhan aktual untuk tokoh-tokoh yang (seharusnya) serius. Pun baru kali ini profil villain diberi porsi berlebihan di sebuah film. Tokoh Ultron mendominasi dialog dan adegan laga. Pun dari sisi kostum, hanya Hulk yang masih konsisten (terang saja, doi kan cuma memakai bawahan doang, tapi pun ada perbedaan sekarang: celana Hulk tidak lagi sobek saat Bruce Banner berubah).

Ilustrasi nonton tiga tahun lalu

Satu lagi yang menggelitik. Di beberapa surat kabar yang terbit belakangan, saya temui beberapa tajuk membahas film Avengers yang dikaitkan dengan idealisme generasi muda, sebagai penikmat dominan film itu. Intinya berisi keprihatinan, kenapa generasi muda sekarang lebih mengidolakan Tony Stark cs daripada pahlawan nusa bangsa tercinta ini. Mereka lebih fasih meneriakkan "Avengers Assemble!" daripada jargon kepahlawanan domestik. Lebih baik mati terkalang tanah daripada hidup terjajah! (Nggak musim, demikian mungkin kata anak-anak kita).

Iya, benar, tajuk itu sangat menggelitik dan mungkin benar.

Tapi begini.
Jika hendak mempermasalahkan itu, tentu tidak bijak jika kita menyalahkan para generasi muda. Mereka yang notabene adalah produk sebuah pendidikan baik formal, informal, maupun non formal.

Pendidikan kita, benarkah diformat dengan baik untuk menanamkan nilai penghargaan atas jasa para pahlawan? Saya mengamati dari buku-buku literatur anak-anak saya, tema ephos domestik hanya menduduki porsi yang sangat kecil. Hanya sedikit saja di pelajaran IPS dan disinggung sekilas di pelajaran PKN. Kalaupun buku-buku membahas sejarah, pasti teoritis, seperti perang Puputan terjadi bla... bla... bla..., Konferensi Meja Bundar menghasilkan bla... bla... bla...

Lalu, jika generasi muda dituntut harus menjunjung tinggi spirit kepahlawanan dan menghargai pahlawannya, apakah cukup dari textbook teoritis yang hanya beberapa lembar itu. Lantas, siapa yang harus mereka jadikan panutan untuk menciptakan idealisme indah bernama heroisme itu? Apakah anggota parlemen yang nyentrik-nyentrik? Apakah tokoh lembaga yang secara konsisten beradu tegang dan konflik sepanjang hayat?  Atau para artis dari klan prostitusi yang sekarang sedang dilanda gemetaran karena takut namanya namanya diungkap ke publik?

Generasi muda kita kehilangan panutan, Teman-teman.  

Maka saat masa anomi mereka seperti ini terjadi, muncullah Kapten Amerika dan kawan-kawan yang gagah berani gemilang membasmi musuh-musuhnya. Salahkah mereka jika menjadikannya sebagai figur pahlawannya? Diskusi kita soal ini tidak akan pernah selesai.


Wassalamu'alaikum wr.wb.


www.comingsoon.net



ARTIS PELACUR

$
0
0
Assalamu 'alaikum wr.wb.



Di media massa tengah booming pemberitaan mengenai prostitusi di kalangan artis. Mereka dikabarkan "menyewakan dirinya" (maksudnya eufemisme dari menjual diri. nggak ngaruh ya?) secara part time dengan "uang sewa" hingga ratusan juta rupiah. 

Para artis itu -untuk yang masih punya rasa malu- tentu saat ini tengah dilanda kegalauan hebat. Karena namanya mungkin akan semakin dikenal. Sebagai pelacur. Dan ini akan disaksikan oleh papa-mamanya, sanak saudaranya, teman-temannya, pacarnya, bahkan bisa jadi suami dan anaknya.

Dalam preseden penanganan kasus suap, aparat penegak hukum tidak hanya mengungkap sang broker. Aparat juga membongkar sang tersuap dan sang penyuap. Demikian halnya kasus prostitusi ini, kita berharap aparat tidak hanya menangkap sang mucikari, tapi juga menggelandang sang pelacur dan mengungkap para pemakai jasanya. Karena tidak mungkin ada istilah artis pelacur, jika kliennya tidak ada. Maka menjadi fair jika selain mengungkap sang artis sebagai obyek, juga perlu diungkap si subyek, siapa saja pemakai jasa artis-artis ini.  
 
Mau menggambar kakap makan kakap, nggak sempet

Saya sangat mendukung wacana adanya sanksi sosial (jika sanksi pidana dianggap susah dikenakan). Cukuplah nanti saat artisnya diperiksa satu persatu, sekaligus diungkap pula siapa-siapa para pemakai jasanya. Maka kemudian semuanya jelas, lalu dibuatkan list, dan dipublikasikan di media massa. Keren bukan? Tidak usah lagi dipedulikan sang pemakai ini adalah pejabat tinggi, senator, tokoh masyarakat, miliuner, atau siapapun. Mereka itu hanyalah sampah yang menistakan martabatnya, keluarganya, bangsanya, dan agamanya (dan pasti parpolnya jika dia fungsionaris parpol).

Dari perspektif sang artis, ini akan membuka garis imaginer antara dia sebagai public figure yang diidolakan massa dengan seorang pecundang yang dihujat massa. Buat para generasi muda, sang artis ini kiranya tidak perlu lagi diidolakan. Masa iya kita mau mengidolai para pezinah? Jika perlu, diboikot saja, lalu dikucilkan untuk memberi kesempatan kepadanya bertaubat (atau mau dielu-elukan seperti kasus penyanyi pezinah sebelumnya?)  

Dari perspektif pemakainya, nanti dari keterangan para artis itu, seharusnya muncul nama para dedengkot yang menjadi pemakai jasa atau pelanggannya. Beberkan saja. Para psikolog tentu akan mempertimbangkan bagaimana nanti dengan keutuhan keluarga para pemakai ini, jika list dipublikasikan. Menurut saya, biarkan saja mengalir, ini jamannya akuntabilitas dan transparansi koq. Toh jika dibiarkan, si keluarga bakalan dikhianatinya berkepanjangan. Saya juga yakin, mereka memakai artis panas itu dengan uang panas. Artinya dengan memunculkan mereka di ruang publik, maka akan ada penghentian atas kegiatan uang panas. Juga "money laundering" versi baru seperti ini. Maka saat inilah cut off-nya. Dan jika mereka adalah para pentol yang selama ini berperan sebagai atasan di unit-unit bisnis atau lembaga-lembaga formal, pantaskah seorang pezinah menjadi atasan, bahkan pimpinan? Dan, saat sebagian dari mereka ternyata adalah atasan kita, maka kita pun tidak salah untuk mengencingi disposisinya.



Wassalamu 'alaikum wr.wb.

MENYAPA MASA KECIL

$
0
0





Assalamu'alaikum wr.wb.
 
(Maaf, mau numpang nyimpen file, ini hanya tulisan dibuang sayang, kemarin digunakan untuk meramaikan acara rame-rame di acara reuni SMP saya)

STAGE 1
Hari itu jadwalnya classmeeting yang mempertandingkan final tenis meja. Bandang Bayu Raharjo (yang kelak dalam perjalanan waktu, bersama-sama saya di Semarang), jagoan kelas 1-C, berjibaku melawan juragan ikan hias Jalan Karangsuci yang mewakili kelas 1-A. Pertandingan diadakan di selasar depan kelas 1-D. Jagoan kelas 1A kalah telak. Sebenarnya bukan karena dia kalah secara teknik. Tapi dia kalah karena terlalu banyak membetulkan sempongan rambutnya. Ini membuat gemas para pendukungnya. Seorang Mark Zulfikar bahkan sempat berkelakar, harusnya teman yang satu itu digundul saja biar bisa menang. Saya pun menjadi ingat obrolan Oryza dan Jenny Sassae. Mereka pernah memperbincangkan sempongan-nya ini. Katanya, dia mirip Fariz Rustam Munaf (masihkan dia mirip Fariz sekarang, Or?)

STAGE 2
Menyambung stage di atas, di pertandingan memperebutkan tempat ketiga cabang tenis meja itu, seorang teman si sempong yang juga personel kelas 1A bermain dengan lincah bak ayam jago. Pantas saja, seperempat abad kemudian baru terungkap, pemuda bermata teduh yang senyumannya agak manis (tapi lama-lama mblengeri) ini ternyata seorang juragan ayam jago (gelarnya: ayam jantan dari timur. timur pasar Mertasinga.)
.....
STAGE 3
Dia teman sebangku Suwarno saat di kelas 2A, yang duduk di barisan kedua dari belakang. Rambutnya selalu harum karena menggunakan minyak rambut yang saya duga berkelas. Saat berbicara santai di tempat duduknya, dia kerap memutar-mutar buku catatan di atas telunjuk dan jari tengahnya. Dia pun dikenal pandai memutar-mutar teori dan logikanya. Berbagai logika (logika biologi khususnya) yang sementara orang di sebelah-menyebelahnya tidak begitu paham, dia sudah piawai, melebihi Bu Tari guru biologi. Dia pun sering iseng menggoda seorang teman perempuan yang sepertinya dia puja saat itu (itu tuuh... ceweq yang duduk tepat di depan papan tulis). Teman saya ini biasa ceplas-ceplos menggoda dari bangku belakang. Dan si ceweq yang terlihat kesal sesekali ngejabanin dengan mendatangi bangku si cowoq. Tahu ekspresinya? Betul. Sang cowoq mati kutu seperti beruang es yang kedinginan. Tapi, dugaan saya sih, yang di depan papan tulis itu sebenarnya cuma pura-pura marah, tapi hatinya tersipu dong.
...
STAGE 4...
Saat perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan per kelas (kami beruntung mengadakannya di ruang ketrampilan yang megah), saat acara hiburan, tokoh satu ini menyanyikan sebuah lagu Lionel Richie yang berjudul Say You Say Me secara acapella. Gampang ditebak, yang terdengar memang bukan nyanyian merdu merayu, melainkan bunyi (bukan suara) yang lebih mirip semburan air (iler ndeyan ya) dan angin bergemuruh. Lha saat nyanyi, dia juga rajin meniupi microphone sih. Saat itu seluruh isi kelas tergelak, termasuk Pak Suryo Sugondo. Sekarang lagu itu mungkin masih dinyanyikannya, tapi dengan judul yang disesuaikan: Say You (and You) Say Me (tahu kenapa?). Dia, saat SMP dulu, punya kesukaan yang hampir sama dengan saya, membaca berita olahraga. Hanya saja, jika saya cuma bisa membeli koran BOLA atau TRIBUN yang harganya seratus lima puluh rupiah (itupun tidak rutin setiap Jumat dan sangat perjuangan susahnya minta duit ke ibu saya), dia sudah berlangganan majalah SPORTIF yang harganya hampir sepuluh kali lipatnya. Dia mengaku menangis acapkali menyaksikan Susi Susanti memenangkan sebuah event bulutangkis. Tahu siapa yang saya maksud? Yak, betul! Ehh salah...
...
STAGE 5
Masih sambungan stage di atas, saat itu yang diplot sebagai pembicara ceramah adalah seorang teman saya yang dulu bersekolah di SDN Sidakaya 14 - Bandengan dan bertempat tinggal di sebelah Hotel Teluk Penyu, dekat tempat tinggal saya. Dia pintar sekali berolah kata layaknya pembicara betulan. Mantap dan memukau. Namun di penghujung ceramahnya, dia mengucapkan: "Wa’alaikumussalam wr.wb". Lalu kami harus menjawab apa? Tapi dasar memang menguasai panggung, dia tanpa canggung berbalik lagi ke mimbar dan meralat salamnya. (Ehh, gara-gara dia saya jadi ingat Kenichi-Ippei-Daiziro-Yoshi-Megumi anggota robot Voltus V).
...
STAGE 6
Dia yang gagah dan tampan dahulu, pun sekarang tampak menua dan menambun (ehh bener nggak sih "menjadi tambun" itu sama saja "menambun"?). Tidak lagi seperti saat dia aktif di perguruan karate KKI waktu itu. Mengingatkan betapa hidup itu berlangsung dengan cepat. Sungguh, jika sekarang bertemu dengannya di Pantai Kuta, saya tidak yakin bisa mengenal dengan baik teman sebangku saya di kelas 2 itu. Satu yang saya ingat darinya: jika menyanyikan lagu Hari Moekti “Ada Kamu”, suaranya lumayan bagus. Mungkin karena tertempa dengan baik di gereja. Dan satu hal, dia itu gentle banget. Itu sangat sangat saya kenang. Saat Bu Titik guru Bahasa Indonesia menunjuk meja yang tersayat oleh tulisan yang dibuat dari cutter, dia mengakuinya, meski itu adalah ulah saya (meski saya pun mengaku pada akhirnya).
...
STAGE 7
Saya harus mengucapkan terima kasih kepadanya, seorang teman yang dahulu duduk sebangku dengan M. Yuni Adi Agung di kelas 2, karena coretan gambar kartunnya yang diberinya judul Balap Karung Beregu (yang dia bikin saat pelajaran Bahasa Inggrisnya Bu Sri Kundari pada 1988), enam tahun kemudian saya contek idenya dan saya adopsi dalam sebuah kartun yang hampir identik, lalu saya kirim ke tabloid olahraga BOLA. Ya, enam puluh lima ribu rupiah menjadi milik saya dari idenya itu. Sebagai ilustrasi, kartun balap karung itu kurang lebih menggambarkan lomba balap karung dengan menggunakan helm. Dan saat ini yang bersangkutan masih identik dengan benda yang bernama helm (dan tentu saja motor dan asesorisnya). Oh iya, cover kaset SAS Band (album Sirkuit) yang dia berikan untuk saya pada medio 1988 itu, saat ini masih tersimpan rapi di lemari kaset saya. Makan-makan yuk, An!
...
STAGE 8
Di acara perpisahan SMP, semua mata tertuju padanya. Beberapa kelompok tempat duduk yang awalnya masing-masing tampak mengobrol sendiri sontak berkonsentrasi ketika seorang gadis tampil membawakan sebuah tarian. Tari Gambyong. Siapa yang tidak kenal gadis pindahan dari Lawang - Malang itu. Dia yang biasa berpembawaan kalem, mendadak trengginas di atas panggung. Teman saya Bambang Ariezona pernah menunjukkan betapa kediamannya di Jalan Pemintalan Nomor E-4 hampir setiap sore dan malam selalu dikunjungi oleh teman-teman-teman-teman-teman-teman-teman pria (saya sebut begitu karena saking banyaknya teman yang apel ke sana. tapi bagi para teman tentu mereka "bermusuhan" sebenarnya, bukan teman, hehe...) yang berebutan mendapatkan hatinya. Siapa sangka pada suatu masa, pada akhirnya pemuda kalem (tapi ceriwis) penghuni jalan Perwira yang rumahnya di pojokan itu yang mendapatkan hatinya (yang lain sepertinya kebagian empedu, heee...sukuuur).
...
STAGE 9
Dia salah seorang yang berandil besar dalam masa depan (baca: sekarang) saya. Karena saat saya mengikuti seleksi CPNS, saya menginap di rumahnya (hebat, saat yang lain masih kos, dia sudah punya rumah) di Banguntapan – Bantul. Dia pula yang rajin mengantarkan saya ke lokasi tes. Demikianlah, saya pun diterima di pekerjaan saya sekarang. Terima kasih Teman, nyanyian Elvis Presley-mu yang blero selalu saya kenang. Teman saya ini, saat tinggal di Jalan Karimun Jawa dulu mempunyai saudara kembar perempuan (kalimat ini secara asosiatif salah ya? biar saja yang penting clue "Jalan Karimun Jawa", masuk), yang sama baik hatinya dengan kembarannya itu. Dimana kalian?
...
STAGE 10
Dia jagoan sepak bola dari gonggoman Sleko. Siapa ingat betapa ekspresifnya dia di kelas saat menggosok-gosok lutut, paha, atau pipinya sambil menganga dan menengadah ke atas? Ngomong-ngomong, yang digosok itu bukan guluh kan ya? Piss, hehe...
...
STAGE 11
Teman SMP saya yang sangat pendiam itu menjadi sahabat baik saya setelah duduk di bangku SLTA. Namanya cukup dieja dalam satu kata. Dahulu dia tinggal di dekat stasiun Cilacap ke arah Pasar Gede. Saat mengintip buku kegiatan Ramadhannya dahulu, teman satu ini terdata bertarawih di tempat yang sama dengan Minggus, di mushalla Al Himah Jalan Langsep, dekat Pak Malik). Saya pernah bersamanya ke Jakarta untuk menerima penghargaan dari Mitsubishi. Saya pun pernah bertarung melawannya dalam sebuah pertandingan antara SMA 1 vs STM Negeri. Dia ibarat air tenang yang sangat menghanyutkan. Di balik kebersahajaan dan itikad keprihatinannya, dia menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat. Maka sekarang saksikan, figur yang tidak ambisius ini menorehkan catatan prestasi masa depan yang luar biasa. Hormat untukmu teman!
...
STAGE 12
Mengulum contekan, lalu menelannya ketika pengawas ujian mendatanginya. Terasa pedih pada saat itu, tapi pasti sekarang menjadi sejarah indah yang selalu dikenangnya. Dia sekarang telah menjelma sebagai seorang yang sukses dan mapan, meski masih saja ngocol. Silakan mengaku buat sang oknum, jika memungkinkan. Yang pasti saya kangen sekali dengannya. Berada di dekatnya, sungguh meriang (menjadi riang).
...
STAGE 13
Dia adalah satu dari beberapa orang unik yang bisa berbangga hati saat terjatuh dan mengakibatkan luka di lututnya. Apa pasal? Karena esok harinya dia akan berangkat sekolah berseri-seri dengan memamerkan obat merah di sekitar lututnya. Mungkin macho, pikirnya (ternyata dahulu simbol ke-macho-an itu sederhana ya? cukup obat merah modalnya). Hahai, iya, barangkali pun hanya dia saja di antara teman-teman saya yang bertahan dengan wajah lamanya. Sangat orisinil, bahkan menjadi lebih (agak) ganteng sekarang. Saya bilang juga apa, wajah pelawak selalu awet muda! Betewe, tahu apa hobinya saat kelas 2 SMP dahulu? Ialah membuat kartun wajah tampak belakang seorang gadis teman sekelasnya (tuh ada yang tersipu).
...
STAGE 14
Dia dijuluki “Gonzales” oleh Minggus (Nggus, mana undangan mana?), teman sebangkunya di kelas 1, karena badannya mirip seorang tokoh villain di film kartun TVRI yang hits saat itu, Zorro. Dia kemudian sempat langsing gara-gara puasa Senin-Kamis (luar biasa menginspirasi bukan, seorang yang masih belia sudah rajin puasa) dan rutin taekwondo di lapangan Gelanggang Remaja setiap Minggu pagi. Tapi sayang, sekarang Putera Galunggung (...Putera Galunggung di Padepokan Cinta, titip salam buat sang pujaan hati, Puteri Bunga di Sanggar Penantian... bla bla.. goyaang bareng... – jadi ingat Bung Rodiman, penyiar RSPD membawakan acara Salam Dangdut setengah empat sore) yang kini menetap tidak jauh dari kediaman saya ini sudah kembali bengkak, melebihi Gonzales. Hobinya pun bukan lagi taekwondo, tapi menyelam. Menyelam gaya batu, seperti tuntutan WWF (kali ini bukan WWF smack down! meski tongkrongannya pas buat jadi atlet WWF). Saya mengingat sepedanya yang dipoles cat ala PT Nasmoco, membuat saya terobsesi bertahun-tahun untuk memiliki sepeda yang bercat mobil seperti miliknya. Sampai sekarang belum kesampaian.
...
STAGE 15
Ini dia seorang teman paling macho yang saya kagumi. Betapa tidak. Saat dia masih duduk di bangku SMP, dia berani menerima tantangan berkelahi seorang siswa SMA Yos Sudarso. Di lapangan BP-7 (Kejaksanaan lama) mereka berduel. Salut, bangga, dan terasa menginspirasi. Yang bersangkutan sudah tahu bahwa kisahnya ini pernah saya tulis dalam bentuk cerpen yang saya kirim sebagai sebuah artikel di Majalah Hai pada medio 1995. Tapi tahukah Teman-teman, bahwa si macho ini, saat duduk di kelas 1 SD Petungan dahulu, adalah si cengeng yang jika jika disuruh maju menyanyikan lagu Garuda Pancasila, selalu menangis. Benar tidak, wahai Bapak yang macho? (Mungkin dia tersenyum -tidak menangis lagi- sambil berlalu dengan black alphard-nya).
...
STAGE 16
Jika teman-teman mengenalnya sebagai seorang yang slenge’an, saya lebih dahulu mengenalnya sebagai seorang yang alim. Dia kakak kelas saya saat menimba ilmu di madrasah – sekolah sore tempat kami mengaji. Saya kelas 1, dan dia kelas 3. Saya sering melongo terkesima saat dia piawai sekali menghafal shorof dan melantunkan hafalan Qur’annya. Saya sangat menghormatinya. Di sekolah, dia menampilkan alter ego yang jauh berbeda dengan pribadinya saat di madrasah. Terlebih, dia tergabung di gank-nya Kampleng yang ekspresif dan metal, membuatnya makin berbeda dengan figur yang saya kenal di madrasah. Pergi Pergi, demikian terjemahan nama panggilan kerennya (tapi lebih pas nama jenis padi di sawah sih).
...
STAGE 17
Saya sering tertawa sendiri saat mengingat yang ini. Begini, saat acara pelantikan Palang Merah Remaja (PMR), seorang teman tidak kuasa melawan takdirnya. Dia merasa naas karena berperan secara permanen sebagai pasien. Jadilah dia, dari pagi hingga petang pasrah dibebat di kepala, diikat di kaki dan tangan dengan posisi tergeletak di atas tandu. Dia pun pasrah atas segala perbuatan empat orang yang memikulnya, menyusuri jalanan, gorong-gorong, bahkan sungai. Barangkali jika teman-temannya meletakkan dan meninggalkan tandu itu di sawah atau menghanyutkan di Kali Yasa sekalian, yang bersangkutan pun hanya bisa pasrah. Di sepanjang jalan, sang pasien bersungut-sungut tanpa senyum, membuat teman-teman seregunya tegang berkepanjangan. Untunglah sang Ketua Kelompok, Musafir Qureisyien, adalah figur sabar dan berusus panjang yang di sepanjang jalan menghiburnya (sambil menyanyikan lagu Nina Bobo yang diganti liriknya menjadi: Ponco Ngorok, hehe nggak ding). Siapa yang bernama Ponco, ngacung!
...
STAGE 18
Masih nyambung stage di atas. Saat kami menyusuri got di sepanjang Jalan Semangka, kami berhenti di depan sebuah rumah bercat putih. Seorang gadis berperawakan agak tinggi membawakan kami teko berikut beberapa gelas, menawarkan minuman. Rupanya dia siswi SMP 1 juga. Gadis itu lumayan manis, perhatian, tapi terlihat judes. Kami juga tidak disapanya. Yang disapa justru makhluk tak berdaya yang ada di atas tandu yang berperan sebagai pasien itu. Pasien galak. Ini pasien memang rese koq. Di sepanjang jalan marah-marah, tapi begitu ketemu sama yang manis begitu, langsung berderai tertawa dan mengacungkan tangannya yang dililit kain blacu. Semoga si gadis itu ingat, maksud saya... mengaku, bahwa dia dahulu pernah terlihat judes. Saya menduganya: masih judes sampai sekarang. Forever!
...
STAGE 19
Saya duduk di depan Ruang UKS yang letaknya di sebelah ruang Bu Farida dan Bu Turis, sang Guru BP. Undak-undakan di depan UKS yang posisinya di seberang kelas 1A dan 1C menjadi tempat strategis untuk ngecengin orang lewat. Saya ingat ketika Silvia Murdiati dan Fitri Wijayanti bergandengan tangan lewat di depan kami. Beberapa saat kemudian Indah Nursanti berbarengan Dian Novira beriringan membawa pot berisi lidah buaya. Lalu Nila Puspitasari. Duhh, kebayang tangan mereka harus membawa pot-pot kotor itu. Mestinya tangan Karsono, Suhartono Saleh, atau Marsono si bulu kaki lah... Tapi tak apalah, daripada Karsono, Suhartono, atau Marsono yang lewat, pemandangan bisa “bures” seketika, dan undak-undakan menjadi runtuh nanti.
...
STAGE 20
Saat bus jemputan berwarna biru berlambang kuda laut itu datang, awalnya saya selalu merasakan minder seketika. Terutama saat menyaksikan teman-teman yang turun dengan penampilan dandy dan keren-keren. Tapi seorang teman, membuat muasal suasana menjadi menjadi cair buat saya. Dia menampilkan diri sebagai figur pria sederhana dan enak diajak bicara. Lalu saya pun menjadi sadar bahwa teman-teman di bus itu adalah teman-teman yang asyik. Dia adalah teman di perumahan Pertamina yang pertama saya kunjungi. Tanpa canggung saya bersepeda ke rumahnya. Tahu yang saya kagumi dari dia? Piala ayahnya banyak sekali!
...
STAGE 21
Ingatkah teman-teman pada sebuah acara api unggun di halaman sekolah, lalu ada teman cowoq dan ceweq yang berduet menyanyikan lagu “Judul-judulan”? Pak Muhadi dan Pak Ngadenan merasa perlu turun tangan untuk menghentikan lagu itu, karena sang penyanyi dan pendengarnya dinilai masih belum cukup umur atas lirik lagu PMR itu. Nah, sekarang saatnya untuk dua orang mantan tersangka itu, melanjutkan lagi menyanyikan lagu itu, karena mungkin Kalian sudah cukup umur untuk menyanyikannya, dan kami yang dahulu berkerumun di sekitar api unggun itu pun sudah cukup umur untuk mendengarkannya.

STAGE 22 
Musik rock sangat bergema di kawasan Kebon Baru. Nggak percaya? Lihat saja saat itu. Pintu dan jendela-jendela di kediaman Purnomo Suprapto di Jalan Kakap banyak ditemukan stiker grup musik EUROPE. Di kamar Triyono banyak terpampang poster VAN HALEN dan JUDAS PRIEST. Di kamar Kusworo, pada dinding sebelah selatan full dihiasi gambar raksasa Rudolf Schenker cs (SCORPIONS). Nah, yang agak melankolis malah ada di kamar si garang Suhartono "Tyson" Saleh (Tono) di Jalan Kelapa Lima. Ada poster Nike Ardila yang didapatnya sebagai bonus kaset album kedua Nike, Bintang Kehidupan yang dibelinya di toko kaset Popeye yang saat itu berlokasi di sebelah toko Ganefo dekat pos polisi sebelum pindah di sebelah Taman KNPI. Satu yang membuat saya kaget: foto Nike lama-lama berkumis! Ini pasti ulah Tono sendiri yang ditolak sama sang idola (hm.. mungkin tepatnya idolanya yang lain lagi).

STAGE 23
Waktu belajar malam biasanya dimulai jam 19.00 WIB ya? Sebelum acara belajar, apakah teman-teman biasa mendengarkan sandiwara radio? (maklumlah, televisi pada jam segitu tidak menarik, paling-paling lagi Berita Daerah – TVRI Yogyakarta). Bagi teman-teman ceweq, saya kira banyak yang mendengarkan serial “Ibuku Malang Ibu Tersayang” yang diputar Radio Yasfi jam 18.30 WIB (Ferry Fadli sebagai Baskoro, Peggy Sukma sebagai Soraya, Lukman Tambose sebagai Sasongko, Novia Kolopaking sebagai Yessy, etc). Tapi kalo saya lebih suka ngebayangin Kerandong di “Misteri Gunung Merapi” – nya Asmadi Sjafar yang disetel RSPD Cilacap pada saat yang sama (Bahar Mario sebagai Sembara, Mario Kulon/Dipa R sebagai Basir, Asriyati sebagai Mak Lampir, Ivone Rose sebagai Nyai Kembang, etc). Lalu setelah RRI (yang disiarkan melalui seluruh stasiun radio) menyiarkan warta berita Ekonomi, Keuangan dan Industri jam 20.00 WIB (di Pasar Johar Semarang, wortel tanpa daun dijual dengan harga... Di Pasar Beringharjo, tomat gondol dijual dengan harga...dst), RSPD memutar “Api Di Bukit Menoreh” (S. Tijab sebagai Agung Sedayu, Anna Sambayon sebagai Sekar Mirah, Eddy Dhosa sebagai Swandaru Geni, etc). Tapi sandiwara radio yang paling fenomenal tetap yang jam 15.30 WIB (Ferry Fadly sebagai Brama, Elly Ermawati sebagai Mantili, Bambang Jegger sebagai Paksi Jaladara, Maria Oentoe sebagai Pramita, Petrus Ursfon sebagai Raden Bentar, Ivone Rose sebagai Lasmini, etc). Btw, saat itu harga radio dua band paling-paling Rp5.000,00 loh. Saat harga klepon Rp25,00 setangkep daun pisang yang isi empat.

STAGE 24
Paling enak itu saat liburan lebaran tiba. Karena di THR Teluk Penyu ada undar-undaran, salah satu icon pasar malam terhebat pada masa kecil kita. Tiketnya Rp150,00 bisa muter selama 3 menit. Siapa punya pengalaman begini: untuk menghindari tiket masuk di pintu gerbang Teluk Penyu, maka nerobos lewat lapangan bola di sisi kiri gerbang atau menyelusup di area perkampungan di sisi kanan gerbang ke arah Benteng Pendem (tapi berhubung jalan ya capek, lalu ketemu bakul es orson sama klepon, ya akhirnya bayar-bayar juga).

STAGE 25
Buat teman-teman yang duduk di bangku depan, tentu tidak asing dengan istilah hujan lokal. Teman-teman ingat siapa pak guru yang suka membuat hujan lokal itu? Wiliani Taulo siap hendak membeli payung tuh.

STAGE 26
Saat kelas 1, kita berkaos olahraga berwarna kuning-nuansa merah. Lalu di kelas dua kita berkaos berwarna abu-abu-nuansa hitam, dan kelas 3 warna putih-nuansa merah. Bagi saya, modelnya statis dan kurang menarik. Tapi demikianlah dari tahun ke tahun. Khas dan sangat SMP 1 banget. Pada suatu ketika, pada bulan Agustus 1988 saya pernah mengenakan kaos yang abu-abu dalam sebuah acara adu lari di stadion Wijayakusuma. Di sebelah saya, saat start, pesaing yang tidak saya kenal itu mengenakan kaos kuning (persis kaos kita saat kelas 1). Setelah kegiatan selesai, saya berkenalan dengannya dan saya baru ngeh, ternyata kaos itu kaos olahraga SMP Sidareja. Nah, itulah hebatnya SMP 1 kita saat itu. Bahkan kaos yang sederhana pun, ditiru!

STAGE 27
Selain kaos olahraga yang resmi, saat kita kelas 2 ada tren membuat kaos kelas. Yang saya ingat kelas 2A membuat kaos putih dengan nuansa garis-garis segitiga warna merah dan biru, bertuliskan DOHC dan Le Coq Sportif bergambar ayam jantan yang Perancis banget (kalau tidak salah, tulisannya ini ide Uphenk-Gathul-Agung). Kelas 2B juga punya kaos kelas berwarna merah, kelas 2F warna biru, kelas 2D warna hijau, dan yang lain saya lupa. Yang pasti warna-warninya tidak terafiliasi partai. Entah kalo bikinnya sekarang.

STAGE 28
Sungguh malang nasib siswa kelas 2D, 2 E, dan 2F. Kenyamanan belajarnya kerap terganggu dengan bunyi bis Damri yang berparkir tepat di sisi utara gedung sekolah. Tentang masalah tersebut, Kepala Sekolah saat itu konon pernah mengkomunikasikannya dengan pihak Damri, tapi tentu tidak ada penyelesaian yang memuaskan. Karena lahan Damri tetap saja tidak kebeli (Syarif mana Syarif? Beliii Rif!!)

STAGE 29
Jaman kita saat itu ada lagu hits. “...Engkau bukan yang pertama tapi pasti yang terakhir... (apa ya judulnya? itu yang nyanyi Mus Mujiono. Juga lagunya yang berjudul Tanda-tanda (“...tanda-tandanya bunga asmara ingin bersemi sekali lagi...). Lagu lain misalnya Dirimu - Gank Pegangsaan, Menjilat Matahari-Godbless,  Rindu Sampai Mati-Yankson-Ita Purnamasari, dan tentu saja Sweet Child o Mine-nya GNR serta Carrie-nya Europe. Dua lagi: Gubuk Derita-nya Hamdan ATT dan Semut-semut Kecil-nya Melissa. Silakan sebutkan lagi, masih ada seribu lagu terkenal saat itu.

STAGE 30
Beberapa teman menunggu waktu hingga sore di sekolah, padahal saat itu waktu sekolah sudah usai. Tahu kenapa? Rupanya kecengannya anak SMP Purnama 1 yang saat itu berkelas sore di SMP kita. Masih ingat oknumnya siapa? (... malu aku maluu, pada semut merah, yang berbaris di dinding.. menatapku curiga seakan penuh tanya sedang apa di sini...).

STAGE 31
Dulu ada tren kita saling menulis coretan atau biografi atau apapun di buku diary/agenda teman-teman kita, ingat? Dari buku yang pasti berkeliling itu, kita menjadi tahu kegemaran masing-masing teman. Saya masih ingat favorit Mbak Puri: thung-thung. Dan Mas Eko bilang Tempeger Goreng. Saya juga ingat favoritnya Wardoyo: Nicky Astria, Imam Mahdi rahimahullah: Iwan Fals, dan Turyono: Paman Dolit. Satu lagi ( saya ingat orangnya tapi takut malu), menuliskan grup musik kesukaannya. Apa coba? DOGBLES! Halahh, ini sih pasti korban salah dengar dari grupnya Ahmad Albar itu.

STAGE 32
Dari trotoar jalan, menyaksikan teman-teman yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik di barisan drum band SMP kita adalah keasyikan tersendiri (grup drum band kita Gita Selia ya namanya?). Ada Sandra, Dani, dan ada Ating yang memegang snare. Mayoretnya Florita. Sorry ya buat Catur dan Andi yang kayaknya memegang tom-tam, kita-kita suka nggak peduli kalo kalian yang lewat, meski kalian paling bersemangat memukul tambur inggris itu.

STAGE 33
Saya suka memperhatikan Pak Mahendra mengajar di ekskul musik. Hebat dan piawai sekali guru baru itu. Tahukah teman-teman, saat Pak Mahendra ini pertama kali menginjakkan kaki di SMP 1 di sebuah kesempatan sore hari pada medio 1989. Saat itu saya pas berada di sekolah di ruang guru yang pintu, jendela dan ruangannya masih bercorak Belanda. Beliau bertanya untuk memastikan bahwa gedung itu kelak akan menjadi tempatnya bekerja. Tahukah teman-teman, saat itu seorang guru yang bersama saya bilang: “Maaf mas, yang lain saja”. Pak Mahendra dikira sales!

STAGE 34
Saat teman-teman berangkat study tour ke Jakarta, saya bersama seorang teman melambaikan tangan dari gerbang sekolah. Kami berdua adalah bagian dari segelintir siswa yang tidak mengikuti acara wisata itu. Teman yang saya maksud adalah Wardoyo. Muhammad Wahyu Wardoyo. Saya bilang ke Doy, panggilan sayangnya, bahwa saya solider ke dia sehingga saya tidak ikut acara itu. Saya bohong, karena sebenarnya saya punya agenda yang saya impikan, keesokan harinya: Pendakian pertama saya, Gunung Merapi bersama bapak saya rahimahullah. Belakangan, Wardoyo pun mengaku bahwa dia dan keluarganya (Bapak Mustari Muslim rahimahullah and the Gank) ternyata ke Yogya. Glek. 

STAGE 35
Ingat nama kepala sekolah kita? Yak betul. Saat kita kelas 1 hingga awal kelas 3, kepala sekolah kita adalah Pak Tedjo Siswoyo rahimahullah (yang isterinya bernama Bu Rini Nuswantari yang bertugas di perpustakaan sekolah) yang kalo menyebut istilah mayoret adalah mayoritet. Saya ingat pada Agustus 1989 Pak Tejo masih menjabat sebagai kepala sekolah SMP 1, tapi pada awal Oktober 1989, Pak Marsudi sudah menggantikannya. Berarti mereka berserahterima jabatan kurang lebih pada medio  September 1989. Bener nggak?

STAGE 36
Dede adalah sebuah inspirasi. Bayangkan, saat kelas 1 (tahun 1987) dia sudah mewakili Jawa Tengah dalam kejuaraan nasional Kempo yang diadakan di Denpasar - Bali. Saya ingat waktu itu saya mengikutinya melalui acara Dari Gelanggang ke Gelanggang pada Minggu siang di TVRI, demi bisa melihat Dede bertanding.  Dan si jambul keren itu memang benar-benar muncul di nomor "kata" (apa ya istilah "kata" di kempo?)

STAGE 37
Kita punya Ricky yang liat dan ulet di lapangan bola basket. Kita pun punya Aji yang smash-nya menggelegar di lapangan voli (Ji, apa kabar matamu, masih merah selalu?). Coba ada cabang Gobak Sodor, pasti kita semua bisa bergantian menjadi bintang lapangannya ya?

STAGE 38
Menjelang kita mendaftar di SMP, di televisi ada serial ACI (A kisah Amir, C kisah Cici, I kisah Ito). Minggu siang, ada sinetron Rumah Masa Depan yang jika kita ingat intro theme song-nya sekarang (bunyi kibor modus akordeon – kalem tapi megah) bisa membuat kita ingat saat-saat kita jonjang umpet, suramanda, main umbul, dsb. Masa-masa itu telah lewat jauh di belakang, teman-teman. Masa jaya kita itu adalah eranya anak-anak kita sekarang. (Betewe, tahu kenapa sekarang ada istilah "krisis moral"? Ya, karena acara Ria Jenaka sudah tidak diputar lagi). 

STAGE 39
Teman-teman ingat Triyono? Juragan Kebon Baru yang satu ini bikin saya terkesima. Karena pada masa itu, saat teman-temannya masih tergantung dari pendanaan orang tua, dia sudah bisa mencari uang sendiri. Dia mendapat banyak uang saat membantu kapal-kapal pencari ikan merapat di pantai. Di akhir pekan, dia sering mentraktir teman-teman di tempat favoritnya: Warung Burjo "Ringin", di sebelah Kodim. Di mana Triyono sekarang? Sedang di Ringin?

STAGE 40
Tahukah teman-teman, bahwa Souther, Bambang Nursetyanto, dan Popi Suryati adalah tiga dari beberapa nama jagoan panggung puisi yang saling mengalahkan satu sama lain pada masa sebelum masuk SMP. Bagi peserta lain, mereka memang menyebalkan, karena ketiganya memang sulit dikalahkan.

STAGE 41
Ingat Pak Timbul guru biologi? Karena gerak reflek membersih meja dari ceceran air raksa, maka beliau harus menjalani rawat jalan selama 1o tahun. Tapi hebatnya, beliau berhasil menutupi kegundahannya di depan anak-anak didiknya selama 10 tahun itu.
  
STAGE 42
Awal masuk SMP ada pekan orientasi. Kita mendapat tugas untuk mengumpulkan tanda tangan guru-guru sebanyak mungkin, langsung di rumahnya.
  
STAGE 43
Bu Wid guru IPS kita saat kelas 2 benar-benar menggunakan cara out of the box dalam mengajar. Beliau menerapkan metode CBSA dengan rajin melontarkan pertanyaan lisan dengan sangat interaktif. Memang tidak tekstual dan terkesan lepas dari buku. Tapi ini yang ternyata benar dan tepat untuk merangsang kita berfikir aktif (benar ya?) 
    
STAGE 44
Ingat Pak Benny guru fisika yang pada 1989 pindah ke Sidareja? Setelah pindah, saya sering bertemu beliau, saat berkunjung ke tetangga saya yang adik kandung beliau. Beliau mengeluh, katanya anak didiknya yang baru tidak seperti anak-anak SMP 1, khususnya angkatan kita.

STAGE 45
Saya bisa menggunakan sumpit untuk makan mie ayam, bisa membuat telor asin, membuat baju dari kantong gandum, karena jasa ibu guru ini. Bu Hestri. Beliau juga yang memberi saya sebuah buku Surah Yassin kecil saat saya hendak berangkat ke Jakarta untuk sebuah lomba. Katanya, simpan buku ini di kantong jika berlomba. Saya patuh, dan sangat memberikan sugesti positif buat saya. Hingga sekarang, buku Yassin pemberian Bu Hestri sering saya kantongi di saku kemeja saya, saat saya menghadapi situasi-situasi tertentu.

STAGE 46
Terakhir, Teman-teman. Sekarang, lihat diri kalian. Pegang bahu kalian masing-masing. Menengadah, lalu ucapkan syukur kepada Tuhan. Renungkan, tentang kita yang pernah menjadi bagian dari sebuah sekolah yang paling berjaya pada masanya. Sekolah kita adalah sekolah berperingkat 20 Besar SMP terbaik se-Indonesia pada saat itu, tahun 1990. Sekarang kalian yang berjaya itu berkumpul di sini. Kalian yang bersama-sama membesarkan nama sekolah kita. Sekarang kalian menciptakan kembali sebuah kekuatan besar yang pasti juga susah dikalahkan. Mari berikan arti untuk pertemuan ini. Selamat, galang kembali kekuatan dahsyat yang sulit dikalahkan, sekarang juga!


Wassalamu'alaikum wr.wb.

Viewing all 400 articles
Browse latest View live