Quantcast
Channel: zachflazz
Viewing all articles
Browse latest Browse all 400

13½ CM (TRUE STORY)

$
0
0

Assalamu'alaikum wr.wb.

Terinspirasi film "5 CM" yang sedang ramai diputar di bioskop-bioskop di Indonesia, pada posting kali  ini saya akan menceritakan sebuah kisah yang mengesankan bagi saya (jika tidak dibilang mengerikan), yang sangat monumental dalam sebuah sejarah hidup. Kisah ini mungkin tidak analog dengan kisah yang ada di 5 CM, meski sama-sama melibatkan 5 sekawan dan kesamaan pada moral cerita. Bedanya, "5 CM" adalah kisah rekaan semata, sedangkan di kisah ini, yang saya beri judul "13½  CM", kisah ini nyata adanya. Kenapa menggunakan bilangan 13½? Ini bahasa simbolik yang menunjukkan bahwa nyali tokoh utama di kisah ini memang hanya sepanjang itu. 
Kisah ini tentang petualangan lima sekawan di sebuah gunung. Lima sekawan itu adalah: saya, Arief, Totok, dan dua orang teman perempuan kami: Chio, dan Diaz. Kami berlima mahasiswa yang berdomisili di Semarang kala itu. Saya, Totok, Chio, dan Diaz adalah rekan satu angkatan di Universitas Diponegoro Semarang. Sedangkan Arief adalah mahasiswa Akademi Ilmu Statistik yang juga sahabat saya sejak kecil. Rumah kami berdekatan di Cilacap, dan kami juga berada dalam satu wadah organisasi pecinta alam bernama LAREPA. 
Tulisan ini sifatnya masih outline dan masih loncat-loncat karena memang saya buat sekedarnya dalam waktu semalam (malam Minggu, tanggal 15 Desember 2012), berbekal memori saya dibantu seseorang yang juga menjadi tokoh penting sekaligus saksi hidup dalam kisah ini. Saya tidak kesulitan menyatukan mozaik kisah ini karena saya merekamnya dalam sebuah buku catatan. Foto-foto untuk mendukung cerita juga belum saya siapkan, karena semuanya tersimpan di album foto yang disimpan di rumah ibu saya di Cilacap. Saya hanya berkejaran dengan momentum gegap gempitanya film 5 CM yang sedang ramai diputar.
Berikut ini saya coba menceritakan monumen hidup saya itu, yang sampai detik ini masih saya kenang dan menempati posisi 10 besar dalam event hidup yang paling saya kenang sepanjang masa. Selamat membaca jika berkenan.

-----------------------------------------------------------------------------------

"13½  CM" 

(BAGIAN PERTAMA DARI TIGA TULISAN)


Hari Pertama

NENEK MISTERIUS

Pada suatu Sabtu sore di penghujung tahun 1995, di sebuah sudut Taman Grojogan Sewu – Tawangmangu, Jawa Tengah, seorang nenek berusia kurang lebih delapan puluh tahun mendatangi kami berlima yang sedang beristirahat setelah berjalan agak jauh dari air terjun Grojogan Sewu. Beliau serta merta menyampaikan petuahnya dalam bahasa jawa halus,
Ngatos-atos inggih, Nak. Wonten nginggil saged pikantuk mala menawi mboten ngatos-ngatos”.
(Hati-hati Nak, di atas nanti bisa jadi akan mendapat bahaya jika tidak berhati-hati).

Inggih Bu, kawula badhe ngatos-atos. Nyuwun pangestu kemawon”.
(Iya Bu, kami akan berhati-hati. Mohon doa restu saja).

Dialog yang sangat biasa memang, hanya sebuah pesan klasik yang meluncur dari mulut seorang tua kepada yang anak-anak yang sebaya dengan cucunya.

Tetapi mengapa pula nenek itu tahu bahwa kami akan mendaki gunung. Padahal tas dan perbekalan mendaki kami titipkan di shelter dekat Pasar Tawangmangu. Ahbiar saja, pikir saya. Yang penting nasihat beliau agar kami berhati-hati, akan kami pegang dan laksanakan.


MENDAKI GUNUNG LAWU 

Beberapa jam setelah pertemuan dengan nenek misterius tadi, malam itu selepas pukul 21.00 WIB, kami berlima mulai berangkat naik menuju pos 1 gunung. Adalah Gunung Lawu, sebuah gunung dengan ketinggian 3265 dpl, yang berlokasi di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dengan pertimbangan efisiensi waktu, saya memilih jalur Jawa Timur yaitu dari Cemoro Sewu - Magetan. Sebenarnya kami bisa menggunakan jalur Jawa Tengah, yaitu Cemoro Kandang – Karanganyar, tapi medannya agak berliku dan kurang menanjak. Saya pikir jika melalui jalur ini akan sulit mencapai puncak sebelum sunrise, terutama karena adanya dua wanita dalam rombongan saya, yang perlu diperhatikan kapasitas fisiknya. Sungguh rugi jika mencapai puncak tidak mendapatkan panorama matahari terbit.

Meski jalurnya lebih nge-track, jalur Jawa Timur ini lebih menjamin bisa cepat sampai puncak. Dan satu hal, pemandangan melalui jalur Cemoro Sewu tidak begitu menawan sehingga tepat jika dilalui malam hari begini. Sedangkan jika turun esok siang, saya berencana melalui jalur Jawa Tengah yang pemandangannya ciamik, sangat enak dinikmati pada siang hari.

Pendakian kami tidak menemui kesulitan berarti. Lima pos yang total jenderal berjarak kurang lebih 7 km dari kaki gunung sampai puncak. Diaz yang baru pertama kali menjajal sensasi naik gunung pun tidak menemukan kendala hingga mencapai puncak.

Prediksi saya tepat. Kami mencapai puncak sekitar pukul 04.00 WIB. Tiga puncak yang ada di Gunung Lawu, yang masing-masing memiliki nama: Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah, pagi itu, kami singgahi semuanya.

Di puncak Hargo Dalem, kami bahkan sempat membuka sleeping bag untuk tidur. Saya satu-satunya yang tidak menggunakan kesempatan pagi itu untuk tidur. Saya malah menyempatkan diri untuk memperhatikan bagaimana teman saya yang bernama Chio tidur. Ya ampun, cantik banget itu ceweq. Dan saya perhatikan saat tidurnya, mulutnya nggak mangap (jadi nggak ngiler, hehe). Sedangkan Totok dan Arief, saya tidak peduli mereka mau tidur jungkir balik atau nungging model apapun, atau ngapain lah. Hehe...

Hingga siang mulai terasa terik, kami masih berada di puncak. Saya melihat euphoria seorang Diaz. Dia berlari-lari dari satu ujung ke ujung gunung lainnya. Dia bilang pemandangannya fantastis. Saya bilang, kapan-kapan ikut lagi saja saat naik Merapi, Slamet, Semeru, atau Argopuro. Karena puncak gunung berapi jauh lebih mempesona daripada gunung tidur seperti Lawu ini.

Ya, untuk soal pengalaman, saya dan Arief cukup bersaing dalam jumlah pendakian. Saya lebih banyak secara kuantitas karena saya hampir tiap minggu saat jaman SMA, naik Gunung Slamet. Untuk Totok, ini pendakian kedua setelah sebelumnya dia mengikuti pendidikan Resimen Mahasiswa di Gunung Ungaran. Sedangkan bagi Chio, ini juga pendakian keduanya setelah beberapa bulan sebelumnya dia naik Gunung Sindoro.

Selepas Zhuhur kami mulai bersiap untuk turun. Saya memprediksi sekitar pukul 17.00  atau 18.00 WIB sampai kembali ke desa terakhir. Dan malamnya kami berencana langsung menuju Semarang, ke tempat kos kami masing-masing.

Sesuai rencana, kami turun melalui jalur Jawa Tengah (menuju Cemoro Kandang). Utamanya kami nanti bisa menikmati pemandangan yang teramat indah di sepanjang perjalanan. Saya sangat hafal jalur ini. Karena secara statistik, saya  mendaki Gunung Lawu ini sudah sembilan kali.


PENDAKI SILUMAN

Suasana sangat riang saat kami turun. Terlebih, keadaan kami yang memang fit dan tanpa keluhan kesehatan. Saat turun gunung itu, di depan kami terlihat serombongan pendaki yang juga turun dengan rute yang sama. Kami berjalan di belakang mereka dalam jarak kurang lebih dua puluh meter. Jumlah mereka mungkin sekitar sepuluh orang, dan mereka hanya membawa carrier biasa. Artinya mereka bukan pendaki sejati. Karena seorang pendaki sejati, tidak akan pernah mengabaikan keselamatannya dengan hanya membawa perbekalan yang ala kadarnya.

Hingga kemudian, setelah dua jam kami berjalan, tiba-tiba datang kabut menyergap. Keadaan yang biasa saja sebenarnya. Namun yang membuat kami terkaget-kaget, ketika serombongan pendaki tadi lenyap. Situasi berganti dengan pemandangan tebing di sisi kanan dan jurang yang sangat dalam di sisi kiri jalan. Saya jadi ingat film Indiana Jones and the Last Crusade. Saya pastikan, ini bukan jalur Jawa Tengah yang saya maksud.

Saya sebagai yang paling senior di antara kami berlima, memutuskan untuk kembali ke puncak saja, lalu menggunakan jalur lain untuk turun. Tidak ada pilihan lain. Bayangkan, kami sudah berjalan dua jam, dan harus kembali ke atas! Saya mencurigai rombongan pendaki yang ada di depan kami bukan dari kalangan manusia.

Ternyata perjalanan kembali menuju puncak menjadi sangat sulit dan terjal. Saya baru sadar  bahwa ini bukan jalur yang biasa saya lalui. Aneh sekali. Perjalanan semakin sulit karena saat itu pandangan mata kami terganggu kabut tebal yang menyelimut.

Hampir senja kami baru mencapai puncak kembali. Saya mulai didera rasa cemas. Bagaimana jika sampai malam kami hanya berkutat di puncak begini. Sementara di puncak sudah tidak lagi kami temui pendaki lain. Di depan teman-teman, saya tetap dengan performance yang penuh canda dan berusaha untuk memberikan rasa nyaman kepada mereka. Apalagi kami nanti harus menuruni gunung dalam gelap sesaat lagi, yang tidak saya perhitungkan sebelumnya. Menuruni gunung dalam gelap tentu lebih berisiko untuk terjatuh bagi kami daripada saat mendaki. Tapi apa mau dikata, kami harus secepatnya turun. Kami pun berganti mengambil jalur Jawa Timur, jalur kami  saat mendaki kemarin.



MENEMUKAN KAMPUNG MAJAPAHIT


Setelah setengah jam menuruni lereng gunung, tepat waktu Maghrib, saya bersorak gembira ketika memasuki sebuah perkampungan. Ya, perkampungan. Perkampungan? Perkampungan yang…? Yang aneh! Sebuah kampung seharusnya tidak mungkin berada di kawasan dekat sekali puncak gunung seperti ini. Hanya setengah jam dari puncak.

Di kampung yang sepi dan tidak terlalu luas itu, kami melihat beberapa orang laki-laki yang memakai busana seperti pemain wayang orang dengan dada telanjang dan rambut yang digelung. Rumah-rumah mereka bergapura seperti yang biasa saya lihat di Bali. Yang aneh, tenggorokan kami seperti tercekat, hingga tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, apalagi bertanya tentang jalan menuju kaki gunung. Kami hanya bisa menebar senyum yang dibalas dengan senyuman pula oleh mereka. Kami merasakan keanehan itu, namun kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya bisa saling berpandangan tanpa mampu mengucap kata. Kontrol diri saya seperti dirampas begitu saja.

Lalu kami pun meninggalkan kampung kecil itu tanpa pesan, seolah normal saja perjalanan kami itu, seperti numpang lewat sebuah perkampungan biasa.

Saya tidak sempat lagi berfikir rasional. Selintas saya terkenang cerita legenda tentang Raja Majapahit yang kalah perang bernama Brawijaya yang melarikan diri ke puncak gunung ini, dengan para abdi yang setia bernama Sabdopalon, Dipa Menggala dan Mangsa Menggala. Dipa Menggala lalu ditunjuk oleh Brawijaya sebagai raja kecil yang membawahi para makhluk halus dan moksa di Gunung Lawu ini.

Ahh embuhh, nggak urusan! Saya hanya ingin turun gunung. Persetan dengan segala macam lelembut. Saya tidak takut! (Tapi, hari ini saya sudah terlibat dalam konstelasi para jin rupanya).

(BERSAMBUNG)


------
Tunggu cerita tentang pengalaman kami tersesat, kehujanan pada malam hari di hutan rimba, bertemu kawanan hewan liar, dan penemuan tulang manusia.



Dari kiri ke kanan: Diaz, Arief, Totok, dan Chio.
Depan: saya


Viewing all articles
Browse latest Browse all 400

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>