Assalamu'alaikum wr.wb.
Di bawah ini beberapa siluet yang menggambarkan grafik kedewasaan seseorang.
Gareng saat SMA
Di sebuah tempat nongkrong yang hingar bingar.
“Koq mau ya si Banowati jadi pacarnya kunyuk kayak gitu,” kata Cakil kepada temannya, sambil melirik ke arah Gareng yang tidak jauh dari mereka. Dia mungkin berpikir Gareng tidak mendengarnya. Padahal Cakil baru sekali itu bersitatap dengan Gareng. Tanpa basa-basi lagi, Gareng menarik kerah baju Cakil dan mendorong badan Cakil hingga jatuh terjengkang menimpa kursi yang tadi didudukinya.
“Aku bilang, hati-hati kalo ngomong. Aku membunuh pun tega untuk baj!#&@$ yang merendahkanku,”kata Gareng di depan orang yang tiba-tiba menggigil.
Gareng saat mahasiswa
Gareng mendengar gosip, bahwa Sengkuni dielus-elus pacar Gareng yang satu kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) dengan Sengkuni. Gareng yang kemudian mendapatkan klarifikasi dari sang pacar, langsung menuju desa KKN yang ratusan kilometer, dan tanpa ampun menyeret Sengkuni si biang gosip keluar rumah untuk kemudian menghajarnya sampai Sengkuni menangis minta ampun.
Gareng setelah diterima kerja
Di sebuah pesta pernikahan, Gareng terlibat pembicaraan dengan beberapa sesepuh desa.
“Emang bisa masuk kerja bayar berapa, Reng?” tanya Pak Durna.
“Tidak membayar sepeser pun.”
“Halahh, mana ada jaman begini nggak bayar buat masuk kerja.”
“Maaf Pak, kita nggak nyambung, pikiran Bapak sudah tercemar!” tukas Gareng sambil meninggalkan Pak Durna.
Gareng saat menikah
Gareng mendengar dari seseorang, bahwa Togog tadi membual di warung. Katanya, isteri si Gareng menangis di dada Togog dan mengadu bahwa isteri Gareng tidak mencintai Gareng, tapi mencintai Togog. Gareng langsung mendatangani Togog.
“Siapa yang menangis di dadamu, Banci? Sini aku saja yang mau nangis di dadamu yang pake beha itu!”
“Ehh… aku nggak ngomong gitu koq… bener..”
“Sekali lagi aku dengar kamu ngomong pabupacilat begitu, aku paksa kamu pake kebaya, pake beha dan sanggulan, lalu aku seret keliling kampung!”
“Ehh.. begini nih...”
“Ngomong sekali lagi! aku sobek mulutmu!”
Gareng tahun 2004
Di sebuah rapat RT, seorang ibu bernama Limbuk yang ditengarai membenci Gareng dan keluarganya berujar,
“Emang gajimu ada 500 ribu, Reng?”
Gareng mengernyitkan dahi untuk ungkapan yang mungkin dimaksudkan menghinanya itu. “Alhamdulillaah ada Bu, lumayan buat beli lauk anak-anak.”
“Ini kalo nggak cukup, pinjem aja ke kas RT.”
Gareng diam saja, hanya tersenyum kecut. Tidak beberapa lama, dia ngeloyor pergi dan mendadak dadanya terasa akan meledak.
Gareng 2014
Saat mudik di kampungnya, Gareng bertemu Dursasana, seorang saudara jauh yang lama sekali tidak bertemu.
“Kamu ngontrak berapa duit di Jakarta?”
“Alhamdulillaah sudah tidak ngontrak, Om."
“Jangan malu kalo masih ngontrak, biasa koq ngontrak di sana.”
“Hehe, iya, bener, Alhamdulillah udah bisa punya rumah dan sepeda sendiri sekarang.”
“Lumayanlah, kalo gagal di sana, balik lagi lah ke desa ya, jangan malu-malu ya.”
“Iya, saya ingat-ingat pesan ini, terima kasih sekali.”
Dan Gareng pun tetap asyik ngobrol tanpa merasa tersinggung atau perasaan apapun. Baginya, yang paling penting adalah penghayatan, bukan argumentasi.
-------------------
Ulasan menurut Gareng:
Beberapa kasus di atas ada penyelesaiannya masing-masing. Dari perspektif kedewasaan, semakin dibaca ke bawah, penyelesaian terhadap suatu kasus semakin dewasa dan tidak emotif. Kedewasaan itu bisa jadi karena usia yang semakin matang (meski banyak kakek-kakek yang tetap gelap mata dalam menyelesaikan kasusnya). Tapi berdasarkan pengalaman Gareng, yang terpenting adalah intensitas dalam pergaulan. Banyak bergaul dengan berbagai kalangan, membekali dirinya banyak wawasan sosial, terbiasa berhadapan dengan berbagai watak, mendapatkan banyak informasi mengenai metode penyelesaian masalah, menjadikannya relatif bisa meramu berbagai penyelesaian dengan strategi yang baik. Wallahu a'lam.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Gareng, menanggapi segala masalah dengan bersenandung, meski fals. |