(PELAJARAN DARI AGREE DAN IBUNYA)
Assalamu'alaikum wr.wb.
Assalamu'alaikum wr.wb.
(Minggu, 24 November 2013)
Saya mengemudikan kendaraan sambil merenungkan yang baru saja terjadi.
Ini tentang sebuah pelajaran bagi saya. Begini ceritanya. Anak saya Agree mendapat penugasan dari sekolahnya untuk mengikuti Lomba Menggambar antar SD se-Kota Bogor. Singkat cerita, tadi pagi sebelum pukul enam, saya, isteri saya, dan Arien (kakak Agree) berangkat mengantar Agree untuk mengikuti Lomba Menggambar dengan tema "Festival Hijau" yang bertempat di Kantor Walikota Bogor.
Tapi ada berita kurang mengenakan di lokasi lomba. Bahwa ternyata ada dua orang yang ditugaskan mewakili sekolah Agree dalam lomba tersebut, yaitu Agree dan seorang siswa kelas 6. Dan ternyata pula dalam lomba itu, kuota peserta untuk masing-masing SD hanya dibatasi satu orang. Konflik kecil terjadi di internal para pembimbing. Guru-guru pembimbing cenderung memasrahkan saja keadaan itu. Tapi Ibu Kepala Sekolah bersikeras menunjuk Agree. Karena beliau tahu Agree bisa melukis, dan beberapa kali mewakili sekolah dalam lomba sejenis.
Tapi rupanya orang tua siswa yang mendampingi siswa kelas 6 itu (yang bersangkutan juga beberapa kali mewakili sekolah dalam lomba melukis), memprotes, dengan alasan yang masuk akal, bahwa semua sekolah mengirimkan wakilnya yang duduk di kelas 5 atau 6, bukan kelas 3 sebagaimana Agree. Juga disampaikannya bahwa percuma saja dia jauh-jauh datang pagi-pagi jika harus batal ikut lomba. Saya yang mendengarnya hanya termangu. Bukankah pertimbangan yang sama juga bisa saya sampaikan selaku orang tua Agree. Anak saya itu pun harus bangun pagi-pagi pada hari Minggu yang libur, lalu berangkat terburu-buru demi membela nama sekolahnya. Apalagi semalam anak saya itu harus tidur larut malam karena mendapat tentir dari kakaknya tentang trik melukis. Bahkan karenanya Agree kerap dibentak-bentak kakaknya, saat dia belum juga bisa mengikuti instruksi kakaknya.
Tapi rupanya orang tua siswa yang mendampingi siswa kelas 6 itu (yang bersangkutan juga beberapa kali mewakili sekolah dalam lomba melukis), memprotes, dengan alasan yang masuk akal, bahwa semua sekolah mengirimkan wakilnya yang duduk di kelas 5 atau 6, bukan kelas 3 sebagaimana Agree. Juga disampaikannya bahwa percuma saja dia jauh-jauh datang pagi-pagi jika harus batal ikut lomba. Saya yang mendengarnya hanya termangu. Bukankah pertimbangan yang sama juga bisa saya sampaikan selaku orang tua Agree. Anak saya itu pun harus bangun pagi-pagi pada hari Minggu yang libur, lalu berangkat terburu-buru demi membela nama sekolahnya. Apalagi semalam anak saya itu harus tidur larut malam karena mendapat tentir dari kakaknya tentang trik melukis. Bahkan karenanya Agree kerap dibentak-bentak kakaknya, saat dia belum juga bisa mengikuti instruksi kakaknya.
Menyaksikan keadaan itu, isteri saya yang mendampingi Agree menyampaikan pertimbangan yang elegan. Dia meyakinkan Ibu Kepala Sekolah bahwa anak saya itu memang masih kelas 3 dan hampir pasti tidak akan bisa mengimbangi peserta yang mayoritas siswa kelas 6, yang pasti sense-nya dalam melukis jauh lebih baik daripada anak kelas 3 seperti Agree. Maka Agree pun mengalah, membatalkan mengikuti lomba, dan bahkan mendukung siswa kelas 6 tadi untuk maju atas nama sekolah. Jadilah Agree mundur dan bersiap menjadi penonton. Agree hanya bilang tetap ingin di situ sampai acara selesai. Okay, posisi yang tepat meski membuat saya sedikit kecewa. Tapi, ya sudahlah. Kesempatan lain waktu pasti masih banyak untuk Agree.
Tapi sesaat menjelang lomba dimulai, tiba-tiba panitia mengumumkan, bahwa tiap-tiap SD bisa diwakili oleh dua orang.
Siip! Keren!! Tuhan pasti sudah mengintervensi.
Siip! Keren!! Tuhan pasti sudah mengintervensi.
Dan Agree pun menjadi mempunyai kesempatan untuk mengikuti lomba. Ini kemudian membuat Ibu Kepala Sekolah tersenyum lega. Saya memperhatikan ekspresi puas di wajah beliau. Tentu kami sebagai orang tuanya, juga Arien yang merasakan lelah karena melatih adiknya, juga lega. Alhamdulillaah Agree bisa berpartisipasi dalam lomba itu. Dan soal peluang? Tentu tanpa target, karena hampir pasti dia akan kalah melawan anak-anak yang biasa berlomba dan rata-rata sudah duduk di kelas 6, yang secara motorik dan orientasi melukisnya sudah banyak berkembang dibandingkan anak seusia Agree.
Lomba pun berlangsung. Dengan peserta seratus orang lebih dari berbagai sekolah dasar di Kota Bogor. Sayang memang, pengkategorian peserta tidak ada. Jadi peserta kelas 1 pun bisa bertanding melawan siswa kelas 2, 3, 4, 5, bahkan 6. Seperti pertarungan bebas. Hanya dalam lomba itu, secara statistik, saya mencatat peserta hanya berasal dari kelas 5 dan 6, kecuali Agree yang kelas 3.
Saya merasa surprise karena Agree yang notabene sudah dua tahun tidak pernah lagi mengikuti lomba melukis, terlihat percaya diri. Dan seperti biasa, dia selalu riang saat mengerjakan sesuatu. Anak itu terlihat menikmati sekali saat berlomba. Menggambar baginya adalah rekreasi, bukan beban. Dan style-nya, selalu tanpa target. Yang penting selesai, katanya. Begitu pun ketika dia blunder, misalnya gambarnya tercoret atau salah menggoreskan warna, dia hanya tersenyum, lalu segera memperbaikinya. Ini berbeda sekali dengan Arien kakaknya, saat sering lomba melukis dahulu. Begitu melakukan kesalahan, dia langsung meminta penggantian kertas dan ekspresinya seketika terlihat suntuk.
Saya merasa surprise karena Agree yang notabene sudah dua tahun tidak pernah lagi mengikuti lomba melukis, terlihat percaya diri. Dan seperti biasa, dia selalu riang saat mengerjakan sesuatu. Anak itu terlihat menikmati sekali saat berlomba. Menggambar baginya adalah rekreasi, bukan beban. Dan style-nya, selalu tanpa target. Yang penting selesai, katanya. Begitu pun ketika dia blunder, misalnya gambarnya tercoret atau salah menggoreskan warna, dia hanya tersenyum, lalu segera memperbaikinya. Ini berbeda sekali dengan Arien kakaknya, saat sering lomba melukis dahulu. Begitu melakukan kesalahan, dia langsung meminta penggantian kertas dan ekspresinya seketika terlihat suntuk.
dia bisa juga diajak serius |
Lalu pengumuman pemenang pun dibacakan.
Agree…
Alhamdulillaah...
Memperoleh juara 3! Dia peserta termuda yang nyelip di antara ratusan peserta senior, dan bahkan berhasil menjadi salah satu pemenang. Alhamdulillaah. Terima kasih Ya Rahmaan, Ya Rahiim.
Memperoleh juara 3! Dia peserta termuda yang nyelip di antara ratusan peserta senior, dan bahkan berhasil menjadi salah satu pemenang. Alhamdulillaah. Terima kasih Ya Rahmaan, Ya Rahiim.
Dari pengalaman di atas, saya mendapatkan dua pelajaran.
Pertama, tentang keikhlasan, yaitu keberanian untuk mengalah. Isteri saya telah sportif memberikan kesempatan kepada orang lain untuk maju, dan merelakan anaknya untuk mundur dan menjadi pendukung saja. Namun yang kemudian saya saksikan, Agree yang semula bersiap menjadi penonton, justru bisa mengalahkannya, bahkan bisa menang atas ratusan peserta lainnya, dan yang pasti mengibarkan nama baik sekolah. Sifat mengalah ini, saya yakini sedalam-dalamnya telah membuat Tuhan bersimpati dan memihak pada anak saya. Agree yang juga ikhlas mengalah, dan bersiap mundur demi orang lain, lalu menjadi diperbolehkan oleh panitia untuk mengikuti lomba, dan bahkan mendapat Juara 3. Pasti Tuhan berintervensi di arena ini.
Terima kasih untuk isteri saya, juga anak saya, yang telah memberikan pelajaran kepada saya yang sangat berharga. Tentang hakikat mengalah, yang berbuah kemenangan. Adagium "mengalah untuk menang", itu nyata dan benar-benar saya saksikan di depan mata saya. Masya Allah.
Terima kasih untuk isteri saya, juga anak saya, yang telah memberikan pelajaran kepada saya yang sangat berharga. Tentang hakikat mengalah, yang berbuah kemenangan. Adagium "mengalah untuk menang", itu nyata dan benar-benar saya saksikan di depan mata saya. Masya Allah.
Kedua, tentang sikap anak saya yang menghadapi lomba. Rileks. Ini yang saya yakini membawa energi besar untuk membawa sebuah kemenangan. Ketimbang semangat yang over menggebu, yang kerap mendatangkan senjata bernama bumerang. Saya yang belakangan sering dilanda gugup dan tidak tenang, sekarang menjadi lebih yakin, bahwa rileks adalah salah satu kunci kesuksesan. Terima kasih Gree, bapak akan menirumu selalu untuk ini.
........................
Lamunan saya tiba-tiba terhenti. Kendaraan saya sampai di depan kediaman Mbak Popi, teman baik saya, pemilik Blog Cinta Damai. Kami hendak bersilaturahim di sana. Ya, silaturahim sekaligus menengok anaknya yang baru saja menjalani operasi usus buntu (minta doanya ya rekan-rekan, agar segera sembuh total dan sehat selalu). Dan tentu, saya yakin sedalam-dalamnya, hikmah silaturahim ini akan kami dapatkan segera dari-NYA. Saya sangat mempercayainya. Terima kasih Ya Rahmaan ya Rahiim.
Wallahu a'lam.
Wallahu a'lam.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Teman-teman, terima kasih atas segala doanya yang tertebar selama ini. Saya senantiasa merasakan hawa sejuknya. Semoga teman-teman dan keluarga senantiasa sukses dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Aamiin.
Teman-teman, terima kasih atas segala doanya yang tertebar selama ini. Saya senantiasa merasakan hawa sejuknya. Semoga teman-teman dan keluarga senantiasa sukses dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Aamiin.