Repost - 27 Maret 2012
Assalamu'alaikum wr.wb.
Gunung Vesuvius nampak membiru di kejauhan. Latar yang indah sekali. Tapi itulah saja latar indah dari sebuah kerajaan bernama Romawi. Selebihnya, daerah ini muram tertutup oleh kemiskinan. Rakyat Romawi semakin hari semakin tak berdaya berjuang melawan kejamnya garis kemiskinan. Untuk membeli beras sebagai makanan pokoknya saja, rakyat sudah sangat susah. Sementara itu di lain sisi, aparat kerajaan mengidap sindrom korup sana korup sini, yang tiada hentinya menghisap uang milik rakyat. Tidak elok memang untuk dilihat, keseimbangan yang tidak berimbang di kerajaan ini.
---
Di suatu siang yang terik nampak seorang pria tergopoh-gopoh membawa kantong berisi recehan. Anak-anak dan istrinya menyongsong dengan wajah ceria.
“Nak, ini kita dikasih 150 ribu perak sama Raja,” teriaknya.
“Hore…,” empat anaknya berteriak menyambut tak kalah serunya.
“Kita akan dapet duit segini setiap bulan selama tiga bulan,” ujar pria itu.
“Raja baik banget ya, Pak,” kata istrinya.
“Ya. Raja memang baik banget, mau ngasih uang kepada rakyatnya. Raja sangat memperhatikan kaum miskin seperti kita. Atas kebaikannya ini, aku mau melakukan apa saja untuk beliau.”
Kerajaan Romawi memang sedang dilanda krisis keuangan. Harga rumput dan pakan ternak naik setinggi bintang di langit. Ini berimbas ke ongkos transportasi kereta kuda yang semakin menjadi. Dan jika sudah demikian, berimbas pula pada harga barang-barang yang menjadi kian tak terbeli.
Jika ditelisik, krisis ini sebenarnya akibat ulah segelintir orang yang mendapat konsesi dari Raja untuk mengeksploitasi segala macam tanaman, termasuk rumput dan pembakaran hutan yang juga dilakukan orang-orang itu. Investor tak bertanggung jawab yang didukung oleh aparat culas, akhirnya hanya bisa memporak-porandakan hutan dan merusak ekosistem yang ada. Segala cara dilakukannya untuk mengeruk kekayaan negara, untuk kepentingan sendiri dan golongannya. Hingga uang yang seharusnya menjadi pemasukan negara pun diselewengkan dan dikorupsinya.
Dan 150 ribu perak tadi? Inilah yang namanya alat pembungkam mulut mutakhir, meski semua pihak merasa ini tidak pernah efektif menanggulangi krisis sama sekali. Ini juga yang sekaligus berfungsi mesin pencari simpati untuk raja yang sedang kehilangan eksistensinya (harap maklum, raja yang saya ceritakan ini memang raja yang dipilih dan mempunyai basis partai sebagai pendukungnya). Berkurangnya daya beli akibat harga membubung disumpal dengan sogokan recehan. Tengoklah harga beras satu liter sekarang sudah seharga tujuh ribu perak. Bagaimana jika sebuah keluarga dengan empat anak seperti pria di atas. Minimal dua liter beras dihabiskannya dalam sehari. Berarti empat belas ribu perak sehari hanya untuk berasnya saja. Belum untuk mencukupi kebutuhan lainnya. Jika mendapat bantuan 150 ribu perak, berarti bisa untuk beli beras selama kurang lebih 10 hari saja. Padahal kehidupan tidak hanya soal beras. OK-lah, mari kita berfikir positif, uang itu tetap saja lumayan untuk membantu membeli beras selama 10 hari.
Tapi cara di atas seperti ini jelas tidak sehat. Pertama, ini seperti membesarkan anak kecil dengan hanya membelikan mainan robot-robotan saja. Kenapa si anak tidak disekolahkan saja, biar menjadi bekal masa depan yang lebih menguntungkan. Dalam konteks ini mestinya rakyat diberi suntikan modal biar ekonominya semakin berdaya, bukan diberi upah tanpa prestasi seperti ini. Contohlah raja diktator pendahulunya, yang banyak membuat program yang berhasil dengan kebijakan dana bergulirnya. Kedua, ini hanya cara yang memanipulasi pemberian bantuan ke arah kampanye terselubung. Masyarakat yang tidak melek politik hanya akan berujar bahwa ini adalah kegiatan simpatik dari rajanya, yang didukung kelompok yang berkuasa. Jadilah dana ini sebagai sogokan untuk mereka, untuk memenangkan pemilihan umum berikutnya.
---
Sementara di sebuah tempat yang mewah, sang raja bergumam,
“Hee, jenius kan gua. Nggak modal, tapi legal. Duit punya negara, tapi seperti punya gua. Gua bagikan biar gua yang punya nama. Jangan kuatir teman-teman. Besok golongan kita pasti tetap menang di Pemilu, meski gua sudah berhenti menjadi raja. Gua paham koq kelemahan masyarakat di sini, hehe..”
Dan dia pun melanjutkan rapat dengan para koleganya. Mencari cara kampanye paling murah dan paling asyik lainnya. Cukuplah beberapa triliun saja modalnya, begitu pikirnya barangkali.
Wassalamu'alaikum wr.wb