Assalamu'alaikum wr.wb.
Sabtu pagi yang cerah ketika saya mulai memacu kendaraan dengan kecepatan yang sedang. Langsam. Saya absen di forum liqa’ pagi ini, karena anak-anak meminta saya mengantar mereka ke sekolah pagi ini.
Anak pertama saya, Arien Jamilah ada di sebelah saya sambil membuka-buka koran yang saya beli sebelumnya. Sementara adiknya, Agree Saleh sepertinya asyik melamun di jok belakang.
“Pak, kenapa Arien kadang-kadang nggak pede ya?” Arien membuka pembicaraan.
“Maksudnya?” Tanya saya.
“Ya gitu, Kalo lagi ngumpul sama teman-teman yang mau ikutan olympiade matematika, Arien suka minder.”
“Kenapa minder?”
“Soalnya kan mereka hebat-hebat.”
“Mereka mungkin berpikiran sama, mereka pasti berpikir Arien juga hebat.”
Saya mengelus kepala anak saya itu.
“Tapi kan Arien nggak hebat, Pak.”
“Haha… ada-ada aja nih anak bapak. Kurang kerjaan banget mikirin yang kayak gitu.”
“Emang gimana sih Pak, biar pede dan nggak minder?”
“Gini Rien, kalo pas kumpul sama anak-anak yang menurut Arien hebat begitu, tampilkan rasa percaya diri Arien. Bahwa Arien mampu. Bahkan lebih mampu daripada mereka.”
Nada bicara saya yang tajam, membuat Arien mulai fokus mendengarkan saya.
“Nih, kalo ketemu sama-anak-anak matematika, pikirkan, bahwa mereka itu hanya jago di matematika. Mereka nggak pintar melukis kayak Arien. Camkan itu!”
Saya menoleh ke arah Arien.
“Kayak gitu namanya merendahkan orang lain dong?” Arien memprotes saya.
“Nggak, sama sekali tidak. Itu hanya sebuah cara untuk menjaga rasa percaya diri Arien. Kita tetap menghargai mereka, tetap mengakui kelebihan mereka. Tapi kita boleh dong menghargai kelebihan kita juga.”
Saya melanjutkan,
“Terus kalo pas ketemu orang-orang yang pandai melukis, tenang aja, yakinkan bahwa dia belum tentu jago matematika kayak Arien.”
“Kalo ternyata dia juga pinter kedua-duanya?”
“Santai aja, mungkin dia nggak pinter main kibor kayak Arien.”
“Kalo dia juga bisa main kibor?”
“Dia belum tentu bisa main gitar kayak Arien.”
“Kalo bisa lagi?”
“Dia nggak bisa lari secepat Arien.”
“Kalo bisa semuanya?”
“Jarang orang bisa menguasai banyak bidang. Hanya orang-orang yang mau belajar sajalah yang bisa, Rien. Dan Arien termasuk satu dari sedikit orang itu. Beruntung! Jadi nggak ada alasan untuk nggak pede. Arien sudah banyak memiliki keunggulan dibandingkan teman-teman yang lain. Dan itu tidak untuk dibanggakan, apalagi disombongkan. Itu semua untuk mempersiapkan masa depan.”
“Masa depan?” Tanya anak saya itu.
“Ya. Bapak punya teman jaman di SD dulu. Dia orangnya rajin. Semuanya dia pelajari. Orangnya pinter di semua mata pelajaran, pinter main bola, pinter bikin karangan, pintar baca puisi, dan macem-macem. Pokoknya dia pinternya banyak deh. Tapi karena orang tuanya kurang berkecukupan, dia cuma sampai SMP saja sekolahnya. Tapi Rien, dia ulet banget. Dia ternyata bisa juga menjahit baju.Padahal cowoq tuh. Jadilah dia penjahit saat itu. Dari kios kecil-kecilan, lama-lama usaha menjahitnya menjadi besar. Lalu punya karyawan. Tahu sekarang? Dialah Om Heri yang rumahnya di Purbalingga itu. Dia sekarang menjadi bos di perusahaan konveksi kan? Nah, setelah jadi bos konveksi itu, dia nerusin sekolah, dan sekarang udah sarjana, kaya, dan hebat. Tapi tetap nggak sombong kan?”
Arien mengangguk mengiyakan.
“Nah Rien, kalo dari kecil udah mulai belajar keras untuk menguasai banyak bidang, Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba Allah yang udah berusaha itu. Allah akan menyediakan masa depan yang indah buatnya. Percayalah!”
Arien sepertinya lega mendengar penjelasan saya. Dan saya mempersilakan pikiran Arien membadai dengan doktrin saya itu. Dan saya pikir, dia sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tadi.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
----------------------
ditulis di sebelah gedung sekolah Agree, Sabtu 8 Juni 2013
----------------------
Arien di sebuah kejuaraan atletik |