Assalamu'alaikum wrwb.
Asuransi kendaraan saya jatuh tempo pada 28 Maret 2013 yang lalu. Saya pun bermaksud memperpanjangnya pekan ini. Tapi dasar apes, pada hari Sabtu tanggal 2 Maret 2013 (dua hari setelah tanggal jatuh tempo itu), di sebuah tikungan di bilangan Kayu Manis - Bogor, kendaraan saya berserempetan dengan mobil lain. Gedubraakk! Nyengiir!
Saat itu, di tikungan tadi, kendaraan saya berhadapan-bersisian-berhimpitan dengan mobil lain dalam sebuah posisi yang susah untuk menghindar satu sama lain. Bergerak ke depan berserempetan, bergerak ke belakang menghantam barisan motor yang ramai dan rapat. Hmm.. bagus.
OK-lahh, ini pasti sudah garis rejeki saya. Harus ada pengorbanan yang dikeluarkan dengan paksa. Saya menyadari sepenuhnya, mungkin saya kurang shadaqah atau kurang bersyukur. Alhamdulillaah saya diingatkan. Saya sangat mengerti, ini bentuk kasih sayang Allah kepada saya. Alhamdulillaah, ini pun hanya serempetan.
Tapi kalau boleh saya berekspresi, saya agak masygul dengan para pemilik rumah di sekitar tikungan itu. Juga untuk banyak rumah pada sisi jalan di bilangan kota-kota modern saat ini. Rumah yang tak memberi sebuah ruang sempit pun dalam bentuk halaman atau bahu jalan, dan memaksakan berbatasan langsung dengan jalan raya. Kadang pagar, tak sedikit pula jendela/pintu rumah langsung menghadap jalan. Byuhh byuhh.
Fenomena ini baru saya saksikan begitu saya sudah akrab dengan wilayah perkotaan Jabodetabek yang rumit. Saya belum pernah menemukan keadaan seperti ini sebelumnya. Yang saya tahu, setiap jalan biasanya memiliki bahu jalan, dan rumah dibangun dengan jarak tertentu dan agak renggang dari jalan. Bahkan banyak orang merelakan tanahnya untuk membuat atau melebarkan jalan.
Begitu pun di lingkungan tempat saya tinggal sekarang. Sebagian tanah saya, saya ikhlaskan untuk setengah lebarnya sebagai jalan setapak di depan rumah. Tapi, tahukah apa yang saya saksikan di sekitar saya? Ada orang melakukan modifikasi tembok pembatas yang berbatasan dengan tanah saya, dengan mengambil sejengkal dari tanah saya, tanpa izin. Intinya saya dicurangi. Tapi saya tidak mempermasalahkannya. Toh tidak signifikan lebarnya.
Lalu ada lagi yang membangun rumah tepat di garis batas tanah saya. Lagi-lagi saya hanya diam. Padahal belum lama yang lalu, air dari talang rumah saya jatuh di area batas itu, saya diprotes. Lha ini bukan hanya air menetes, tapi tembok rumah. Tapi tidak apalah, saya selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan tetangga, dengan cara mengalah. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik. Dan saya yakin kompensasi Tuhan akan menunggu untuk hambanya yang sabar dan tidak ingin menang sendiri. Aamiin.
Untuk semua keadaan di atas, mbok ya marilah kita bersama-sama menyadari, bahwa kita dalam keseharian pasti melewati pekarangan milik orang lain. Kita tidak berdiam secara ekslusif seharian di dalam rumah bukan? Lalu apa sih salahnya jika kita juga berbuat baik, dengan memberikan shadaqah tanahnya sedikit saja untuk kepentingan bersama, dan memberi kesempatan orang lain yang hendak melaluinya.
Tapi demikianlah pilihan. Mereka mempunyai hak untuk bersikap dan bertindak. Dan saya pun berhak untuk mengajari mereka untuk bertindak yang sebaiknya. Semuanya masih berjalan masing-masing. Biar sajalah, di depan ada tujuan masing-masing yang menanti. Wallahu a’lam.
-----------------
Memang susah mengajak orang untuk melakukan hal yang sama dengan kita.
Banyak orang merasa hidup sendirian.
Wassalamu'alaikum wrwb.
-----------------
Memang susah mengajak orang untuk melakukan hal yang sama dengan kita.
Banyak orang merasa hidup sendirian.
Wassalamu'alaikum wrwb.