Quantcast
Channel: zachflazz
Viewing all articles
Browse latest Browse all 400

PAK SENYUM

$
0
0
Assalamu'alaikum wr.wb.


Siang itu, matahari belum benar-benar tepat di atas kepala. Cuaca pun tidak begitu terik. Ada yang membawa langkah kaki saya keluar ruangan kantor. Perasaan ancur.

Banyak masalah berkecamuk di kepala saya. Bukan apa-apa, karena semua masalah yang ada pada saya adalah masalah sepele semua! (Terima kasih kepada Tuhan, yang tidak memberikan cobaan sulit untuk saya. Semoga selalu demikian selamanya. Amin).
Tapi akumulasi yang sepele-sepele ini harus segera di buang. Dibuang ke laut. Paling pas dibuang di Segara Kidul Laut Selatan dekat tempat lahir saya Cilacap Heavy Metal City.
Dulu saat galau seperti ini saya biasa ke laut, lalu berteriak di ujung tambatan pemecah gelombang sampai puas dan capek.
Tapi karena di sini tidak ada laut, saya cukup ke kantor pos untuk sekedar menyalurkan hobi bawaan sejak kecil. Atau ke toko buku mencari komik dan bacaan ringan. Atau ke toko musik sekedar melihat-lihat flanger distorsi gitar atau mencari album rock yang new release. Tiga serangkai itu lumayan cukup untuk menggantikan laut yang luasnya dua pertiga bumi (Bayangkan!)

Saya hanya ingin steril dari semua masalah, sekecil apapun. Lalu membiarkan otak saya kosong dari masalah-masalah itu. Dan lalu hidup enak seperti di sorga. (Hidup sekali koq dibikin susah. Nggak pengin ahh!).
Intinya: refreshing. Saya ingin menyegarkan diri dari rasa ancur dan suntuk.

Siang itu saya berniat ke sebuah etalase musik di Mal Citraland – Grogol. Di sana saya bisa menyentuh gitar listrik dan drum akustik yang harganya selangit. Sekedar memandang dan menyentuh, saya sudah puas. Di sana juga ada Gramedia si penjual buku, ada juga Disc Tara penjual kaset. Lengkap. Satu-satunya kelemahan mal itu adalah tidak ada kantor pos.
Jika ada kantor pos, saya akan nobatkan Citraland sebagai mal terbaik sejagad.

-------------------------



Sesaat sebelum melangkah ke jalan raya, saya berpapasan dengan seseorang.
Hanya karena terburu-buru dan perasaan galau tadi, saya tidak memperhatikannya.
Sepintas jika menyaksikan baju birunya, dia seorang dari outsourcing, tepatnya petugas cleaning service.

Sekilas saya melihatnya tersenyum dengan badan yang membungkuk hormat. Saya seperti mengenalnya. Tapi karena fikiran saya kemana-mana, saya membiarkannya. Mungkin dia tersenyum ke orang lain, fikir saya. Dan lagi saat itu muka saya seperti ketekuk. Tidak tepat jika dalam konteks ketekuk saya tersenyum. Ekspresi saya memang seperti tak terdefinisi saat itu. Namanya juga sedang ancur.

Saya melangkahkan kaki cepat-cepat.
Sampai kira-kira dua menit saya berjalan... Tiba-tiba saya seperti dipaksa untuk berhenti. Lalu saya pun tertegun. Biasa, seperti bloon (Tepatnya: bloon seperti biasa).

Ingatan saya tertuju pada orang yang tersenyum tadi.
Ya, orang tadi tersenyum... Tersenyum kepada siapa...
Satu-satunya orang di situ adalah saya...
Ya ampun, tadi itu dia tersenyum kepada saya...
dengan badan yang membungkuk penuh hormat.
Sementara saya melangkah tidak peduli.
Bahkan sama sekali tidak membalas senyumannya.
Ohh... Tidaaaakk…!!
Ya Tuhan.
Saya bersalah... saya sangat bersalah
Saya benar-benar tidak bermaksud cuek tadi.
Saya hanya tidak memperhatikan keadaan sekitar saat itu.
Karena saya yang ancur.

Rasa sesal menyeruak dari relung kesadaran saya.

Tanpa berfikir lagi, saya berbalik. Menuju tempat saya berpapasan dengannya tadi.
Saya mencarinya. Sia-sia. Dia sudah tidak ada.
Padahal, entah untuk apa saya mencarinya.
Apakah hanya sekedar untuk membalas senyumnya saja, lalu berlari kembali lagi. Edyan. Pasti orang akan bilang saya orang gila baru.
Saya tidak tahu.
Hanya rasa bersalah yang mendorong saya berlari ke tempat dia berada tadi.

Saya mengenalnya. Ya, saya pastikan bahwa saya mengenalnya.
Dia seorang petugas cleaning service yang sopan, ramah dan selalu
tersenyum setiap bertemu saya.
Meski saya tidak tahu namanya. Dan saya tidak tahu di mana dia bertugas.
Saya pun belum pernah bicara dengannya.

-------------------------

Setelah itu, berhari-hari saya mencarinya. Pak Senyum itu, dimana dia.
Dia yang mungkin sekarang menganggap saya sebagai orang angkuh, norak, katro,
sok sibuk, dan sebagainya. Gombal memang adanya saya. Untuk menyempatkan membalas senyum saja saya tidak mampu.
Gara-gara senyum, saya disiksa rasa bersalah seminggu ini.

-------------------------

Hingga suatu ketika… saat yang ditunggu-tunggu datang.
Saat hendak makan siang, seseorang tiba-tiba telah ada di depan saya. Tersenyum.
Senyum yang khas itu, dengan gayanya yang membungkuk.

Ahaaai, alhamdulillah. Puji syukur kepada Allah Tuhanku.
Rasa puas menghampiri saya.
Ya, dialah itu Pak Senyum yang saya cari-cari selama ini.
Ahh, sangat saya menunggu kesempatan ini.

Hai” saya mendahului menyapanya.
Mas Zach...” tukasnya.
Nah, tuh kan dia tahu nama saya..
Sementara saya belum tahu nama dia.
Keterlaluan benar saya ini.

Mau kemana?" saya bertanya dengan sedikit canggung.
Ini mas, saya mau beli makan,” jawabnya.
Kebetulan, bareng yuk!” ajak saya.
Maaf Mas, ini banyak yang nitip. Ditungguin yang di ruangan.
Halaaah, mereka itu kan para pemalas Indonesia. Males turun, maunya makan di tempat. Kalo perlu disuapin. Sekali-kali kerjainlah mereka. Sebentar sajalah!
"OK Mas."

Oh Tuhan, saya bahagia sekali.
Saya serasa menebus semua kesalahan saat itu.
Sekaranglah saatnya saya bebas membalas senyumnya.

Dialah Pak Senyum. Yang kemudian saya tahu bernama Nasikun.
Orangnya sangat sederhana, tidak neko-neko, dan sangat santun.
Menjadikan sebagai warna yang berbeda dalam serba-serbi pergaulan saya di Jakarta.
Latar belakang keluarga yang berliku dan serba berkekurangan membuatnya tetap bertahan di Jakarta sekarang. Saya respek untuk semua yang diceritakannya siang itu.

Begitulah, makan siang itu menjadi salah satu momentum yang sangat berharga untuk saya.

Karena sejak saat itu,
kami bersahabat.

Seiring berjalannya waktu, kami menjadi seperti saudara.
Sebagai saudara juga untuk anak-anak dan keluarga saya.

Nasikun sering berkunjung ke rumah saya di Bogor.
Ikut naik genteng saat rumah saya bocor.
Ikut menanami pisang di kebun saya.
Ikut nungguin anak saya saat dirawat di rumah sakit.
Ikut membantu saat kami ada program pengobatan gratis, khitanan massal,
dan sebagainya.
Dengan tulus dan tanpa pamrih. Dengan cekatan dan tidak cengeng.

Ya, saya bersyukur,
karena tragedi senyuman itu
saya telah menemukan seorang saudara yang berarti di Jakarta.

-------------------------

Penggalan kisah di atas sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Nasikun yang berbaju biru.

Saat ini, Nasikun pun tetap akan berbaju biru.
Tapi biru yang agak berbeda.
Birunya saat ini, biru yang sama dengan yang saya kenakan.
Karena dia telah diangkat sebagai CPNS di sebuah kementerian.

Saya yakin, itulah hadiah dari Tuhan untuk senyum ikhlasnya, dan untuk semua ketulusannya.



Wassalamu'alaikum wr.wb.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 400

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>