(BAGIAN KEDUA DARI DUA TULISAN)
Shelter 2 dan Shelter 3 dilalui Rino dan ayahnya tanpa hambatan. Mulai Shelter 3 ini, ketinggian sudah melebihi 2000 meter dpl. Sang ayah masih terlihat tegar tanpa ekspresi kelelahan yang berarti. Sedangkan si anak tampak kelelahan sekali. Pendakian gunung pertamanya ini terasa sangat meletihkan. Keringat mengucur dalam udara dingin yang membekap. Tapi itu semua tidak dikeluhkannya. Berjalan dan berjalan, bahkan ngetrek. Hingga mereka mencapai sebuah tanah lapang yang rata berbatu-batu dan berpasir.
“Tempat ini bernama Pasar Bubrah. Kita istirahat dulu di sini. Setelah itu kita ngejar sunrise di atas”.
"Ya Pak, bagus, saya capeek banget."
Mereka bersandar di balik Watu Gajah, sebuah batu berukuran sangat besar yang menjadi ikon Pasar Bubrah, demi untuk berlindung dari udara dingin dan terpaan angin yang cukup kencang pagi itu. Sementara arloji Q&Q menunjukkan tepat pukul setengah empat pagi.
"Ya Pak, bagus, saya capeek banget."
Mereka bersandar di balik Watu Gajah, sebuah batu berukuran sangat besar yang menjadi ikon Pasar Bubrah, demi untuk berlindung dari udara dingin dan terpaan angin yang cukup kencang pagi itu. Sementara arloji Q&Q menunjukkan tepat pukul setengah empat pagi.
“Kita masih satu jam lagi untuk sampai di puncak. Hati-hati saat merayap ke atas nanti. Pasirnya mudah longsor.”
Ayah Rino mengeluarkan kompor rimbanya, lalu mulai memasak air dan supermi.
Semangkuk supermi rebus dan secangkir kopi jahe pagi itu tidak hanya memberikan asupan tenaga, tapi juga dukungan moral luar biasa buat Rino. Itu karena kebersamaan dengan seorang ayah yang selama ini dipandangnya kaku, tapi ternyata sangat luwes tanpa tanding.
Setengah jam berada di Pasar Bubrah, mereka mempersiapkan pendakian di step terakhir dari Plawangan, batas nyata daerah vegetasi dengan daerah tandus vulkanik. Setelah shalat Shubuh berjamaah, lalu mendirikan bivak kecil, dan menyimpan perbekalan pendakian di dalamnya, mereka yang masing-masing membawa kantong air dan makanan kecil, pelan-pelan mendaki puncak melalui tanah hitam dengan kemiringan sedang, namun labil dan licin berpasir. Sang ayah berada di depan, sementara Rino mengikutinya membungkuk dan sesekali merangkak di belakang. Rino merasa sangat aman karena ayahnya sudah mengikatkan tali di pinggangnya ke pinggang Rino.
Setengah jam berada di Pasar Bubrah, mereka mempersiapkan pendakian di step terakhir dari Plawangan, batas nyata daerah vegetasi dengan daerah tandus vulkanik. Setelah shalat Shubuh berjamaah, lalu mendirikan bivak kecil, dan menyimpan perbekalan pendakian di dalamnya, mereka yang masing-masing membawa kantong air dan makanan kecil, pelan-pelan mendaki puncak melalui tanah hitam dengan kemiringan sedang, namun labil dan licin berpasir. Sang ayah berada di depan, sementara Rino mengikutinya membungkuk dan sesekali merangkak di belakang. Rino merasa sangat aman karena ayahnya sudah mengikatkan tali di pinggangnya ke pinggang Rino.
Mereka mendaki…
mendaki…
dan mendaki…
tanpa kenal lelah, meski rileks, tanpa kenal capek, meski nyantai.
mendaki…
dan mendaki…
tanpa kenal lelah, meski rileks, tanpa kenal capek, meski nyantai.
Dan…
Sampailah mereka di puncak. Puncak Gunung Merapi.
Sampailah mereka di puncak. Puncak Gunung Merapi.
Gunung berapi paling aktif di muka bumi dengan ketinggian 2911 meter dpl.
“Lihat Nak, di sekeliling kita!”
“Wahh... ", Rino membelalak. "Kayak di surga...”
Pertama kali, Rino disuguhi pemandangan fantastis sebuah puncak gunung yang bertebing-tebing, berpadu dengan sekumpulan awan di sekelilingnya, dan tanah magnetik hematit yang memukau pandangan siapaun yang melihatnya.
Pertama kali, Rino disuguhi pemandangan fantastis sebuah puncak gunung yang bertebing-tebing, berpadu dengan sekumpulan awan di sekelilingnya, dan tanah magnetik hematit yang memukau pandangan siapaun yang melihatnya.
“Kawahnya di bawah itu.”
“Wahh, indaah sekali. Dingin sekali di sini.”
"Kalo pengin panas, di kawah sana. "
Rino tergelak.
"Kalo pengin panas, di kawah sana. "
Rino tergelak.
Menakjubkan sekali pemandangan di depan mata Rino. Tanah menghitam yang berselimut batu dan pasir dengan bau belerang yang khas, seperti permadani alam yang menghampar mulia di puncak perkasa ini. Gunung yang digambarkan penuh murka selama ini, ternyata cantik molek tergolek indah pasrah di depannya.
Di depan matanya, matahari mulai tersenyum sesaat setelah bangun dari tidurnya. Rino menyeka air matanya.
“Kenapa menangis?” ayahnya memegang tengkuk remaja itu, “Laki-laki pantang menangis.”
“Saya bahagia sekali.”
Ayahnya mengusap rambut Rino.
“Kecuali karena itu”, kata ayahnya, tersenyum.
“Lihatlah, kebayang akan menyaksikan pemandangan seindah ini?”,
ayah Rino menebarkan pandangan. Rino mengusap matanya. Takjub saat melepas pandangan ke rusuk-rusuk langit tanpa batas di latar puncak yang menakjubkan. Rasa syukur, bangga, dan kagum bercampur menjadi satu. Hamparan awan nampak seperti sekumpulan biri-biri yang bergerak berlarian di bawah sana. Gunung Slamet, Sindoro, Sumbing, Merbabu, Ungaran, Telomoyo, dan Lawu, seolah berkumpul dan bermain bersama di arena angkasa, dan bergantian menyapanya.
ayah Rino menebarkan pandangan. Rino mengusap matanya. Takjub saat melepas pandangan ke rusuk-rusuk langit tanpa batas di latar puncak yang menakjubkan. Rasa syukur, bangga, dan kagum bercampur menjadi satu. Hamparan awan nampak seperti sekumpulan biri-biri yang bergerak berlarian di bawah sana. Gunung Slamet, Sindoro, Sumbing, Merbabu, Ungaran, Telomoyo, dan Lawu, seolah berkumpul dan bermain bersama di arena angkasa, dan bergantian menyapanya.
Lega sekali perasaan Rino. Semua ekspresi yang tersimpan dalam sekam lubuk hati, kini tersalur damai melalui pandangan mata. Segala emosi yang tersisa dalam palung dada, mengalir dalam senyawa hembusan karbondioksida dari hidungnya.
Satu gunung telah dia taklukkan. Dalam usia 15 tahun, dia sudah menaklukkan Gunung Merapi, gunung terganas di dunia.
Satu gunung telah dia taklukkan. Dalam usia 15 tahun, dia sudah menaklukkan Gunung Merapi, gunung terganas di dunia.
“Bapak, kenapa bagus banget ya di atas gunung?”
“Kamu merasa kecil di sini?”
Rino mengangguk.
“Kamu merasa tambah tebal imannya bukan?”
Rino kembali mengangguk.
“Nanti kalau kamu udah SMA, bapak pengin ajak kamu ke Gunung Slamet. Di sana lebih berat medannya. Lebih berat lagi Semeru. Gimana?”
“Mau bangeet!”
“Pernah nggak kepikir bakalan naik gunung seperti ini?”
“Belum pernah. Seminggu lalu saat bapak pulang, saya juga belum kepikiran apa-apa.”
“Menyesal meninggalkan acara dengan teman-temanmu piknik ke Jakarta?”
“Sama sekali tidak.”
Mereka tertawa berderai.
Tak pernah mereka sedekat ini sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam suasana bahagia, sang ayah memeluk anaknya.
Sang ayah melanjutkan, “Nah, itu dia, yang nggak kepikir saja bisa, apalagi yang sudah kepikir. Inilah bukti sebuah pencapaian. Susah memang pada awalnya, tapi jika kita tekun menjalaninya, pasti bisa! Pokoknya, jika kamu mempunyai cita-cita, kejarlah cita itu sampai dapat!”
“Kamu besok akan lomba bukan?Kapan?”, tanya sang ayah.
“Dua minggu lagi.”
“Tingkat Kabupaten ya?”
“Iya. Kalo dapet juara 1, maju ke tingkat Provinsi. Kalo di Provinsi juara lagi, maju ke tingkat Nasional di Jakarta”.
“Menang di tingkat Kabupaten juga udah bagus, Nak.”
“Enak kalo sampai juara di Jakarta, Pak. Bisa diundang Presiden, diajak makan malam, dikasih uang banyak.”
“Aamiin. pokoknya fokus di tingkat Kabupaten dulu, semoga menang.”
Rino mengangguk. Di dadanya menggumpal semangat baru yang membara. Rasa percaya dirinya menjadi berlipat ganda. Dalam hati bertanya, apakah si ayah mengajaknya naik gunung ini untuk memberikan motivasi yang luar biasa seperti ini, sesaat menjelang dia lomba? Dia bergumam sendiri, lalu mengangguk-angguk sambil menyaksikan awan indah yang tertata di depannya.
“Berdoalah di sini, di Puncak Garuda ini”, sang ayah menepuk bahu remaja itu.
Rino berdiri sambil berpegangan kuat ke batu yang menyempil di puncak mempesona itu. Lalu dia pun berteriak lantang ke atas.
“Tuhan, saya ingin menjadi anak paling pinter se-Kabupaten. Juara 1 Lomba Siswa Teladan, dua minggu lagi!”
“Aamiin”, ayahnya tersenyum. “Kurang tinggi keinginanmu!”, ayahnya berteriak.
“Ya Tuhan, saya ingin menjadi anak paling pinter se-Indonesia!”
“Aamiin!” Rino berpaling ke arah ayahnya yang tersenyum.
"Ulangi lagi doamu, kali ini dengan penuh konsentrasi, ambil nafas panjang, dan hayati dalam-dalam!", teriak ayahnya keras melawan angin yang kencang menerpanya.
Sambil memejamkan matanya, Rino mengeraskan suaranya, tapi memperlambat temponya:
"Ya Tuhan, saya ingin menjadi anak paling pinter se-Indonesia!”
Ayahnya tersenyum sambil menepuk bahunya. Ini saat paling membahagiakan buatnya. Berbangga menyaksikan ayahnya berkaca-kaca. Tapi dia belum puas hanya membuat ayahnya berkaca-kaca.
"Ulangi lagi doamu, kali ini dengan penuh konsentrasi, ambil nafas panjang, dan hayati dalam-dalam!", teriak ayahnya keras melawan angin yang kencang menerpanya.
Sambil memejamkan matanya, Rino mengeraskan suaranya, tapi memperlambat temponya:
"Ya Tuhan, saya ingin menjadi anak paling pinter se-Indonesia!”
Ayahnya tersenyum sambil menepuk bahunya. Ini saat paling membahagiakan buatnya. Berbangga menyaksikan ayahnya berkaca-kaca. Tapi dia belum puas hanya membuat ayahnya berkaca-kaca.
“Tuhan, di Puncak Garuda ini, saya berdoa, saya ingin bisa menjadi anak yang bisa membahagiakan bapak dan ibu saya selamanya.”
Dan, untuk pertama kalinya dalam sebuah sejarah hidup, Rino menyaksikan ayahnya yang tadi berkaca-kaca, kini meneteskan bulir-bulir air di pipinya. Tangis keharuan. Tangis yang gagah. Tangis di atas puncak yang sama gagahnya dengan sang ayah.
Bapak bisa menangis juga, pikir Rino.
“Tidak pernah senyaman ini untuk berdoa”, ujar sang ayah.
Rino meremas slayer di genggamannya. Lalu dalam hatinya yang paling dalam dia mengucap,
Ya Allah, jadikan saya anak seperti keinginan bapak, yang mempunyai kepala yang isinya seluas langit dan mempunyai hati yang sedalam lautan. Aamiin.
Ya Allah, jadikan saya anak seperti keinginan bapak, yang mempunyai kepala yang isinya seluas langit dan mempunyai hati yang sedalam lautan. Aamiin.
Air mata Rino menetes satu-satu. Ayahnya memeluknya erat. Di Puncak Garuda, disaksikan oleh Gunung Slamet, Sindoro, Sumbing, Merbabu, Ungaran, Telomoyo, dan Lawu, mereka tegak menatap ke depan. Di depan mereka yang serba indah. Seindah cita-cita mereka.
-----------------------------------
- Dua minggu setelah dia berdiri tegak di Puncak Garuda, Rino mencoba peruntungannya dalam sebuah kejuaraan paling bergengsi antar siswa se-Kabupaten, dengan semangat membara yang luar biasa, yang belum pernah dipunyai sebelumnya. Lomba di tingkat kabupaten itu sukses dilakoninya. Dia berhasil menjadi Juara 1 tingkat Kabupaten, dan berhak mewakili di tingkat Provinsi Jawa Tengah.
- Dua minggu berselang, di kejuaraan tingkat Provinsi itu, kembali Rino mempersembahkan prestasi yang mambanggakan ayahandanya. Dia kembali menjadi juara. Juara 1 tingkat Provinsi. Dan dia pun berhak mewakili Provinsi Jawa Tengah di ajang lomba serupa tingkat Nasional.
- Di tingkat nasional, kembali Rino menunjukkan kegemilangannya. Tidak tanggung-tanggung prestasi yang diraihnya. Juara 1 tingkat Nasional, dengan menyisihkan 26 calon juara lainnya dari seluruh Indonesia. Piala Presiden yang sama tinggi dengan badannya, dia raih dengan bangga. Namanya, sampai sekarang masih terpatri di prasasti di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai siswa yang berjaya pada masanya.
Bayangan Puncak Garuda selalu ada di benaknya. Berdoa dengan perasaan sedekat itu dengan Tuhannya, dan meyakini apa yang diucapkannya, akan membawanya pada sebuah keniscayaan atas sebuah cita-cita.