Quantcast
Channel: zachflazz
Viewing all articles
Browse latest Browse all 400

KETIKA JENUH DATANG

$
0
0

Assalamu'alaikum wr.wb.


Senin pagi, 21 April 2014.
Tadi pagi saat saya hendak berangkat bekerja, anak saya Agree pun bersiap berangkat ke sekolah. Hari ini dia mendapat tugas untuk mengikuti lomba mewarnai (bukan lomba melukis) mewakili sekolahnya. Tapi kali ini tidak seperti biasanya. Pagi ini dia sedang bermasalah dengan mood-nya.

Sebenarnya saya sangat memahaminya. Rasa bosan atau jenuh bisa melanda siapa saja, tak terkecuali Agree yang biasanya penuh semangat - meski pembawaannya selalu nyantai. Saya pun dalam posisi moderat untuk tidak pernah memaksakan sesuatu pun kepada anak-anak saya, jika mereka didera kejenuhan.

Hanya saja, untuk kali ini, dia sudah menyanggupi penugasan gurunya. Maka tidak ada alasan baginya untuk mundur. Lain ceritanya jika masalah ini disampaikan saat gurunya baru memintanya untuk mengikuti lomba. Menolak untuk sebuah penugasan, tentu masih bisa diterima, daripada mundur atas sesuatu yang telah disanggupinya.

OK, ini masalah biasa sebenarnya. Tapi saya pun harus segera ke kantor. Tapi demi anak saya, demi memotivasinya untuk selalu “bisa”, saya harus mengorbankan waktu saya. Meskipun risiko saya telat dan penghasilan saya dipotong karenanya. Saya yakinkan dalam diri saya, bahwa ini masalah anak-anak saya, merekalah masa depan saya yang sesungguhnya. Maka apapun risikonya, akan saya ambil.

“Ayo Gree, ini kan bukan lomba melukis, cuma lomba mewarnai. Lebih mudah dan nggak makan tenaga bukan?" saya berusaha membujuknya.
“Iya sih Pak.”
“Dan nggak asyik dong kalo Agree sekarang bilang nggak mau lomba, kan Agree udah bilang sanggup buat ikutan.”
“Iya sih…”

Untungnya, anak saya mengerti benar situasinya. Dia paham konsekuensi kesanggupannya kali ini. Tapi dia pun ngambek sebenarnya, tapi dengan metodologi yang cukup halus.

“Karena Agree udah sanggup, sekarang saatnya pembuktian, bukan ajang buat mundur.”
“Iya Pak.”
“Nih bapak kasih tahu. Lawan-lawan Agree pun, bapak yakin juga sama jenuhnya. Persis masalahnya kayak Agree, percaya deh. Nah saat mereka jenuh kayak gini, pasti hasil karya mereka bakalan nggak maksimal. Dan papa-mama mereka kebanyakan membiarkan mereka jenuh, nggak kayak Agree sekarang, diperhatiin sama bapak-ibu. Jadi, mereka kemungkinan dalam keadaan jenuh dan loyo sekarang. Yakin! Nah saatnya Agree tampil sebaik mungkin. Saat mereka jenuh dan loyo, Agree nggak jenuh, nggak loyo. Apalagi sekarang kategorinya cuma buat kelas 3 dan 4 kan? Nggak ada kelas 5 yang ikutan. Agree bisa. Bisa menang! Percayalah!”

Agree diam saja. Tapi kelihatan pendiriannya sudah terpengaruh diplomasi saya. Saya masih belum diam. Tanggung rasanya kalau cuma diberi argumentasi saja.

“Gree, kalo Agree menang, juara 1 sampai 3, bapak kasih hadiah robot  Iron Man yang Mark 1  deh!”
“Yang bikinan Hot Toys?”
“Ya.”
Agree tiba-tiba sumringah.
Cara ini efektif rupanya.

Sungguh saya tidak biasa memberikan stimulasi seperti ini. Menang atau kalah sudah menjadi konsekuensi yang harus dihadapi anak-anak saya. Dan memberi hadiah, bisa kapan saja tanpa menunggu prestasi tertentu. Yang pasti, saya tidak pernah menjanjikan hadiah demi merangsang prestasi anak-anak saya. Tapi apa boleh buat, ini soal eksistensi anak saya, dan saya mengambil posisi ini sekarang.

-----------

Pada saat ini, mungkin anak saya sudah mulai berlomba. Lomba yang sebenarnya dilakoninya dengan terpaksa. Tapi saat berangkat tadi ekspresi wajahnya sudah berbinar. Karena ada stimulasi Iron Man Mark 1 tadi. 
(Sukses untukmu Nak!)

Ini pun pekerjaan rumah buat saya, ketika saya mulai memberikan stimulasi yang menurut saya tidak perlu (meski ini dilakukan oleh KONI dan Menpora untuk merangsang prestasi atlet-atlet Indonesia. entahlah, saya tidak begitu sependapat). Teman-teman ada pendapat soal ini?


Wassalamu'alaikum wr.wb.





Viewing all articles
Browse latest Browse all 400

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>