Assalamu'alaikum wr.wb
Ketika saya teringat teman-teman sekolah semaca kecil dahulu, angan-angan saya melayang jauh ke masa silam. Sekonyong-konyong, saya pun kembali mengingat Radio Siaran Pemerintah Daerah/RSPD yang menyiarkan sandiwara radio Saur Sepuh. Ketika itu, bukan kebetulan jika saya memang tidak mengikuti serial itu dengan setia. Karena pukul 14.30 WIB, saat acara itu disuguhkan, adalah saatnya saya berangkat menuju madrasah untuk mengaji.
Tapi apapun, gaung Saur Sepuh membuat saya sedikit mengetahui kisahnya, juga beberapa tokohnya. Ada Brama Kumbara, Gotawa, Mantili, Lasmini, Gardika, Lugina, bahkan Saliwang yang bertipikal bolot. Ada jurus Ajian Serat Jiwa, Tapak Saketi, juga Lampah Lumpuh. Ada heroisme, chauvinisme, mistisme, pun sedikit erotisme. Yang paling akhir saya sebut, tentulah Lasmini tokoh sentralnya.
Dalam imajinasi saya, ketimbang Lasmini yang sensual dan menggoda itu, saya lebih memfavoritkan Mantili yang anggun, cantik, serta lincah. Saya berpretensi, inilah Wonder Woman versi Indonesia. Bayangan saya pun menerawang ke wajah Linda Charter, pemeran Wonder Woman di era 70-an itu. Hingga kemudian saya sebagai penggemar Mantili agak kecewa ketika sandiwara radio ini diangkat ke layar lebar, dan pengisi suara Mantili di radio, Elly Ermawati, kembali tampil sebagai pemeran Mantili di layar lebar. Saya tidak mengira itu, karena Elly Ermawati bagi saya bukan figur yang tepat untuk memerankan Mantili dalam konsumsi visual. Bagi saya, mungkin lebih tepat jika Ida Iasha atau Marissa Haque yang populer saat itu, yang memerankannya. Mungkin juga Linda Yanoman atau Lie Yun Juan yang pernah sama-sama mengambil alih peran sebagai Mei Shin di Tutur Tinular versi visual dari Elly Ermawatie yang juga pengisi suara Mei Shin versi audio.
Baiklah, itu semua bukan persoalan bagi saya sekarang. Yang pasti saat mengingat sandiwara radio itu, saya selalu mengingat momentum saat kebudayaan ketika itu, yang mengantar saya beralih dari kanak-kanak menuju remaja, belum banyak dicampuri oleh nilai-nilai yang cenderung asing yang tidak dikenal. Semua mengalir tenang, nyaris tanpa risiko dosa, apalagi kerusakan moral. Saat itulah masa keemasan kebudayaan, menurut saya.
Dan, andai boleh berharap, saya ingin televisi yang ada sekarang hanya menyiarkan TVRI saja. Yang bagi saya lebih menjanjikan suasana aman, khususnya untuk anak-anak, dan mungkin cucu-cucu saya. Mereka cukuplah menyaksikan sebuah televisi yang normatif, lalu mendengarkan radio tanpa risiko mendapat godaan yang bermacam-macam. Sayangnya, itu memang hanya khayalan saya tentang kebudayaan yang ideal, lagi-lagi menurut saya.
Wassalamu'alaikum wr.wb