Assalamu'alaikum wrwb.
Jika ditanya apa yang membuat saya paling merasa risih dan pedih, ada satu jawaban prioritas. Adalah: dasi! Benda ribet satu ini sangat tidak saya sukai keberadaannya di muka bumi ini. Saya lebih baik disuruh makan lontong sate sebakul daripada disuruh memakai dasi.
Dasi. Barang tidak ada gunanya itu rupanya cukup bikin keblinger orang-orang elit hampir di seluruh jagad raya. Tak kurang para presiden, para menteri, para pejabat, beberapa penjahat, dan kondektur kereta, semua hobi memakai dasi.
Dalam konteks dasi ini, saya sempat lega dengan terpilihnya
Jokowi menjadi Gubernur DKI. Ini dia gubernur funky dan metal, pasti
akan bergaya informal dan tanpa dasi. Eehh, tapi apa yang saya lihat.
Jokowi sama saja dengan pendahulunya, berdasi juga. Oalahhh.
Padahal jika mau dipikir lebih dalam sambil iseng, apa sih sebenarnya gunanya kain seulur yang bernama dasi? Sampai sekarang saya nggak nemu jawabannya. Buat lap iler (pengusap liur)? Ini yang paling mendekati, barangkali. Kebayang kan kalau kita kesana-kemari mengenakan lap iler ini, bahkan sampai buat rapat segala, di istana pula. ihh... kewer-kewer berdasi, asli bikin saya geli. Padahal kayaknya akan lebih pas buat dipakai naik pohon kelapa, buat ngelap keringet sambil nderes di atas.
Saya pernah terjebak dalam sebuah konvensi di tempat kerja saya, bahwa pada setiap rapat para karyawan dihimbau mengenakan dasi. Itu saya alami dari tahun 2003 sampai 2007. Edyann to. Gara-gara atasan saya penggemar dasi, dia pun memaksa saya memakai dasi ketika saya rapat/meeting.
Itu berlangsung hingga 2007 yang lalu, saat saya ditempatkan di tempat baru. Kala itu saya bertekad untuk membudayakan kehidupan tanpa lap iler itu. Saya berhasil. Kehidupan tanpa dasi itu berlangsung hingga 2012 ini. Bahkan dalam rapat di kesempatan apapun dan di manapun, saya selalu ingin informal. Saya sering menggunakan jaket sembarangan dalam rapat. Dan ini sepertinya sudah diterima oleh budaya counterpart saya. Saya adalah jaket, bukan dasi.
Itu berlangsung hingga 2007 yang lalu, saat saya ditempatkan di tempat baru. Kala itu saya bertekad untuk membudayakan kehidupan tanpa lap iler itu. Saya berhasil. Kehidupan tanpa dasi itu berlangsung hingga 2012 ini. Bahkan dalam rapat di kesempatan apapun dan di manapun, saya selalu ingin informal. Saya sering menggunakan jaket sembarangan dalam rapat. Dan ini sepertinya sudah diterima oleh budaya counterpart saya. Saya adalah jaket, bukan dasi.
Hingga Rabu minggu lalu saat saya mendapat penugasan keparat itu lagi. Dalam sebuah pertemuan launching program unggulan kantor tempat saya bekerja, para undangan wajib memakai dasi. Saya pun tidak bisa menghindar. Saya terpaksa melakukannya. Tobaaat.
Hampir sepanjang acara itu, saya misuh dalam hati. Merutuk. Termasuk menghujat para pejabat yang leda-lede dengan bangganya menenteng lap iler di leher sampai separo kecekik. Kebudayaan apa pulaa ini. Semprul!
OK-lahh, saya cuma berekspresi. Saya tetap menghormati koq jika ada orang bangga memakai dasi. Meski buat saya, akan lebih hepi jika karyawan tidak dipaksa menggunakan dasi, dan cukup diwajibkan memakai baju dan celana saja dengan sopan. Pengorbanan saya sudah cukup untuk tidak memakai celana jins penuh lubang yang biasa saya pakai di lingkungan informal saya. Preekk. Salam buat rekan-rekan yang berdasi. Anda benar-benar sangat tabah!
Wassalamu'alaikum wrwb.
![]() |
tertawakanlah sosok mirip dakocan rombeng dengan lap iler di atas ini |